Kamis, 24 Juni 2010

Mata dan Ikhsan

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhP6rp3IW6AtcNRhvZU_7dXu7fxJAiqiVFnxjoRiH8fojv_iXGuTyZxPTmXSGguR_lYoEkTL5GE-QHkM-JaJeJMxt0THF5_XOLYcCgGhRbre2VTNSIXdlTSXLWzbovCY6fMj57uOAa2kuw/s400/mata_tuhan.jpg





Dalam sebuah hadits dikisahkan, pada hari kiamat ada sekelompok orang yang membawa hasanat (kebaikan) yang sangat banyak. Bahkan, Rasul menyebutkan kebaikan itu bagaikan sebuah gunung. Tapi ternyata, Allah SWT tak memandang apa-apa terhadap prestasi kebaikan itu. Allah menjadikan kebaikan itu tak berbobot, seperti debu yang beterbangan.

Rasulullah menyatakan kondisi seperti itu karena mereka adalah kelompok manusia yang melakukan kebaikan ketika berada bersama manusia yang lain, tetapi tatkala dalam keadaan sendiri dan tak ada manusia yang lain yang melihatnya ia melanggar larangan-larangan Allah SWT (HR Ibnu Majah).

Mereka itu adalah orang-orang yang riya. Mereka berbuat kebaikan karena dilihat oleh orang lain, bukan ikhlas karena Allah SWT.

Mata adalah panglima hati. Hampir semua perasaan dan perilaku awalnya dipicu oleh pandangan mata. Karena itu, hendaknya mata selalu dibawa melihat hal-hal yang baik.

Bila dibiarkan mata memandang yang dibenci dan dilarang, maka pemiliknya berada di tepi jurang bahaya, meskipun ia tidak sungguh-sungguh jatuh ke dalam jurang. Demikian potongan nasihat Imam Ghazali rahimahullah dalam kitab Ihya Ulumuddin.

Mata adalah penuntun, sementara hati adalah pendorong dan pengikut. Yang pertama, mata memiliki kenikmatan pandangan. Sedangkan yang kedua, memiliki kenikmatan pencapaian. Keduanya sama penting, dan harus saling bekerja sama.

''Dalam dunia nafsu keduanya adalah suatu yang mesra. Jika terpuruk dalam kesulitan maka masing-masing akan saling mencela dan mencederai,'' kata Ibnu Qayyim.

Kesendirian, kesepian, kala tak ada orang yang melihat perbuatan salah, adalah ujian yang akan membuktikan kualitas iman. Di sinilah peran mengendalikan mata dan kecondongan hati. Dalam suasana yang tak diketahui oleh orang lain, akan terlihat apakah seseorang itu imannya betul-betul tulus atau tidak.

Inilah yang digambarkan oleh Rasulullah ketika dia diminta menggambarkan apa itu ihsan, "Hendaklah engkau menyembah Allah seolah-olah engkau melihat-Nya, jika engkau tidak melihat-Nya yakinilah bahwa Ia melihatmu."

Tidak ada komentar:

 
;