Selasa, 14 Oktober 2008

Nasehat

عن أبي رقية تميم بن أوس الداري رضي الله عنه, أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: «الدِّيْنُ النَّصِيْحَةُ» قلنا: لمن؟ قال: «لله, ولكتابه, ولرسوله, لأئمة المسلمين وعامتهم». رواه مسلم

Dari Abu Ruqayyah Tamim bin Aus ad-Daary radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Agama itu nasihat”. Kami pun bertanya, “Hak siapa (nasihat itu)?”. Beliau menjawab, “Nasihat itu adalah hak Allah, kitab-Nya, Rasul-Nya, pemerintah kaum muslimin dan rakyatnya (kaum muslimin)”. (HR. Muslim)

Derajat Hadits:

Shahih, diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitab Shahihnya, hadits no. 55 dan no. 95.

Biografi Singkat Perawi Hadits:

Perawi hadits ini, Abu Ruqayyah Tamim bin Aus ad-Daary radhiyallahu ‘anhu adalah salah seorang sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berasal dari negeri Palestina, tepatnya di kota Bait al-Lakhm (Betlehem). Meninggal pada tahun 40 H. Beliau termasuk sahabat yang sedikit riwayat haditsnya, di dalam kutub as sittah (Kutub as-Sittah adalah enam buku inti yang menghimpun hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, buku-buku itu adalah: Shahih al-Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abi Dawud, Sunan at-Tirmidzi, Sunan an-Nasai dan Sunan Ibn Majah) beliau hanya memiliki sembilan hadits saja, di dalam shahih muslim hanya ada satu hadits saja yang beliau riwayatkan, yaitu hadits yang akan kita bahas kali ini, yang mana dia merupakan hadits yang paling masyhur di antara hadits-hadits yang beliau riwayatkan. (Lihat: Siyar A’lam an-Nubala, (II/442-448))

Kedudukan Hadits Ini:

Hadits ini merupakan salah satu hadits yang sangat agung kedudukannya, karena dia mencakup seluruh ajaran agama Islam, entah itu yang berkaitan dengan hak-hak Allah, hak-hak rasul-Nya maupun hak-hak umat manusia pada umumnya. (Lihat: Syarh al-Arba’in an-Nawawiyah, oleh Syaikh Shalih Alu Syaikh, hal 54).

Penjelasan Hadits:

«الدِّيْنُ النَّصِيْحَةُ»

“Agama itu nasihat.”

Kata ad-dien dalam bahasa Arab mempunyai dua makna:

  1. Pembalasan, contohnya firman Allah ta’ala, مَالِكِ يَوْمِ الدِّيـن Artinya: “Yang menguasai hari pembalasan. (QS. Al-Fatihah [1]: 4)
  2. Agama, contohnya firman Allah ta’ala, وَرَضِيتُ لَكُمُ الْأِسْلامَ دِيناً Artinya: “Dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu”. (QS. Al-Maidah [5]: 3)

Adapun dalam hadits kita ini, yang dimaksud dengan kata ad-dien adalah: agama (Syarh al-Arba’in an-Nawawiyah, oleh Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, hal: 135-136).

Kata an-nashihah berasal dari kata an nush-hu yang secara etimologi mengandung dua makna:

  1. Bersih dari kotoran-kotoran dan bebas dari para sekutu.
  2. Merapatnya dua sesuatu sehingga tidak saling berjauhan.

Adapun definisi an-nashihah secara terminologi dalam hadits ini adalah: Mengharapkan kebaikan orang yang dinasihati, definisi ini berkaitan dengan nasihat yang ditujukan kepada pemimpin umat Islam dan rakyatnya. Adapun jika nasihat itu diarahkan kepada Allah, kitab-Nya dan Rasul-Nya, maka yang dimaksud adalah merapatnya hubungan seorang hamba dengan tiga hal tersebut di atas, di mana dia menunaikan hak-hak mereka dengan baik.

Dalam memahami sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “agama itu nasihat”, para ulama berbeda pendapat; ada yang mengatakan bahwa semua ajaran agama Islam tanpa terkecuali adalah nasihat. Sebagian ulama yang lain menjelaskan maksud dari hadits ini adalah bahwa sebagian besar ajaran agama Islam terdiri dari nasihat, menurut mereka hal ini senada dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

« الدعاء هو العبادة »

“Doa adalah ibadah.” (HR. Abu Dawud (II/109 no. 1479), at-Tirmidzi (V/456 no. 3372) dan Ibnu Majah (V/354 no. 3828), At-Tirmidzi berkata: hadits ini hasan shahih, Ibnu Hajar dalam Fath al Bari, (I/49) berkata, sanadnya jayyid (bagus), Al-Albani berkata: shahih.)

Juga semisal dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

« الحج عرفة »

“Haji adalah Arafah.” (HR. At-Tirmidzi (III/228 no. 889), an-Nasai (V/256), Ibnu Majah (IV/477 no. 3015), Ahmad (IV/309) dan Ibn Khuzaimah (IV/257). Al-Albani berkata: shahih.)

Bukan berarti bahwa ibadah dalam agama Islam itu hanya berbentuk doa saja, juga bukan berarti bahwa ritual ibadah haji hanya wukuf di Arafah saja, yang dimaksud dari kedua hadits adalah: menerangkan betapa pentingnya kedudukan dua macam ibadah tersebut.

Akan tetapi jika kita amati dengan seksama hal-hal yang memiliki hak untuk mendapatkan nasihat -yang disebutkan dalam hadits ini- akan kita dapati bahwa betul-betul ajaran agama Islam semuanya adalah nasihat, tanpa terkecuali. Entah itu yang berkenaan dengan akidah, ibadah, maupun muamalah. (Lihat: Syarh al-Arba’in an-Nawawiyah, oleh Syaikh Shalih Alu Syaikh, hal 54-55)

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sengaja tidak langsung menjelaskan dari awal siapa saja yang berhak mendapatkan nasihat ini, agar para sahabat sendiri yang bertanya untuk siapakah nasihat itu. Tujuan metode ini -yakni metode melemparkan suatu masalah secara global kemudian setelah itu diperincikan-, adalah agar ilmu tersebut membekas lebih dalam. Hal itu dikarenakan tatkala seseorang mengungkapkan suatu hal secara global, para pendengar akan mengharap-harap perincian hal tersebut, kemudian datanglah perincian itu di saat kondisi jiwa berharap serta menanti-nantikannya, sehingga membekaslah ilmu itu lebih dalam di dalam jiwa. Hal ini berbeda jika perincian suatu ilmu sudah disampaikan kepada pendengar sejak awal pembicaraan. (Syarh al-Arba’in an-Nawawiyah, oleh Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin hal: 136)

قلنا: لِمَـنْ؟

Kami (para sahabat) bertanya, “Hak siapa nasihat itu wahai Rasulullah?”

Huruf lam dalam perkataan para sahabat لِمنْ fungsinya adalah untuk istihqaq (menerangkan milik atau hak), yang berarti: nasihat ini haknya siapa wahai Rasulullah? (Syarh al-Arba’in an-Nawawiyah, oleh Syaikh Shalih Alu Syaikh, hal 55).

قال: لله, ولكتابه, ولرسوله, لأئمة المسلمين وعامتهم.

Beliau menjawab, “Nasihat itu adalah hak Allah, kitab-Nya, Rasul-Nya, pemerintah kaum muslimin dan rakyatnya (kaum muslimin)”.

Dalam jawaban beliau ini diterangkan bahwa yang berhak untuk mendapatkan nasihat ada lima:

Pertama: Nasihat untuk Allah ta’ala

Nasihat untuk Allah ta’ala artinya: menunaikan hak-hak Allah baik itu hak yang wajib maupun yang sunnah (Ibid, lihat pula: Ta’dzim Qadr ash-Shalah, karya Muhammad bin Nashr al-Marwazy, II/691-692).

Hak-hak Allah yang wajib mencakup antara lain:

  1. Beriman terhadap rububiyah Allah ta’ala, yang berarti: meyakini bahwa Allah-lah satu-satunya Rabb segala sesuatu, satu-satunya pencipta, Yang memberi rezeki, Yang menghidupkan dan mematikan, Yang mendatangkan manfaat dan melindungi dari marabahaya, Yang mengabulkan doa, Yang Maha memiliki dan menguasai segala sesuatu, tidak ada sekutu bagi-Nya (Taisir al- ‘Aziz al-Hamid, oleh Sulaiman bin Abdullah bin Muhammad bin Abdul Wahab, hal 26). Allah ta’ala berfirman,
  2. الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ

    “Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam.” (QS. Al-Fatihah: 1)

  3. Beriman terhadap uluhiyah Allah ta’ala, yang berarti: mengesakan Allah ta’ala dalam segala macam bentuk ibadah (Al-Irsyad ila Shahih al-I’tiqad, karya Dr. Shalih al-Fauzan, hal 30). Jadi kita harus mengikhlaskan semua ibadah kita, mulai dari shalat, doa, kurban, sampai al-khauf (rasa takut), al-mahabbah (cinta), dan ibadah-ibadah yang lainnya. Allah ta’ala berfirman,
  4. وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْأِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

    “Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan hanya untuk beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat: 56)

  5. Beriman terhadap asmaa’ (nama-nama) dan shifaat (sifat-sifat) Allah ta’ala. Maksudnya adalah: Mengesakan Allah ta’ala dalam nama-nama-Nya yang mulia serta sifat-sifat-Nya yang agung, yang disebutkan di dalam al-Qur’an dan al-Hadits, sembari mengimani makna dan hukum-hukumnya, tanpa mengotorinya dengan tahrif (mengubah), ta’thil (menafikan), takyif (berusaha mencari-cari caranya), atau tamtsil (meyakini bahwa sifat-sifat Allah seperti sifat-sifat para makhluk). Allah shallallahu ‘alaihi wa sallam berfirman,
  6. لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ

    “Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. Asy-Syuraa: 11). (Lihat: Mu’taqad Ahlus Sunnah wal Jama’ah fi Tauhidil Asma’ wash Shifat, karya Prof. Dr. Muhammad bin Khalifah at-Tamimi, hal 31)

  7. Melaksanakan kewajiban-kewajiban yang diperintahkan-Nya dan menjauhi larangan-larangan yang diharamkan-Nya. Ini adalah salah satu tanda rasa cinta seorang hamba kepada Rabbnya. (Ad-Durar as-Saniyyah bi Fawaid al-Arba’in an-Nawawiyah, karya Dr. Bandar al-’Abdaly, hal 37). Allah berfirman,
  8. قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ * قُلْ أَطِيعُوا اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّ اللَّهَ لا يُحِبُّ الْكَافِرِينَ

    “Katakanlah, “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu”. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Katakanlah, “Ta’atilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir.” (QS. Ali Imran: 31-32)

    Hal-hal yang wajib contohnya: mendirikan shalat, menunaikan zakat, berpuasa di bulan ramadhan, berdakwah kepada agama Allah dan lain-lain. Contoh larangan-larangan: syirik, berzina, bermain judi, dan lain sebagainya.

  9. Tidak rela melihat larangan-Nya dilanggar, serta merasa bahagia jika melihat para hamba-Nya taat dalam menjalankan perintah-Nya (Ta’zhim Qadr ash-Sholah, II/692).

Tidak ada komentar:

 
;