dakwatuna.com - Surat ini sampai ke tanganku dari seorang kolomnis di harian Libanon, Sahar Al-Mishri. Secara pribadi ia minta tulisanya diterbitkan di koran Mesir. Saat aku baca isinya cocok dengan pembukaan dalam tulisan yang biasa aku tulis tiap paginya.
Surat yang ditanda tangani orang yang menggunakan nama, Umar Mashuh menyebutkan, “Jika Israel memenjarakanmu, itu hal yang biasa. Karena ia penjajah, musuh yang tidak membiarkanmu beristirahat. Kesenangananmu, baginya kesengsaraan yang menyedihkan. Penjara dari Israel merupakan hal biasa dalam logika seorang Zionis yang sangat takut hanya dengan sebutir batu.
Akan tetapi jika yang memenjarakan adalah anak negerimu, sebangsamu yang menyiksamu serta mengharamkan segala bentuk kebutuhan mendasar seorang tawanan. Kemudian mereka memenjarakanmu, padahal kamu seorang sipil. Lalu menangkapmu dari rumah tempat tinggalmu. Ia telah melanggar semua undang-undang amnesty dan pembebasan secara khusus pula. Ia,menghadang perjuanganmu, agar kamu menjadi tawanan di negerimu sendiri. Semua ini dilakukan oleh saudaramu dan tetanggamu sendiri. Hal ini tidak akan terjadi kecuali bagi milisi Dayton Palestina yang sudah disetir Zionis Israel di Ramallah.
Seorang kolomnis sekaligus da’i, Sari Arabi Taha (30 tahun), warga Rafat Ramallah yang baru keluar dari universitas Ber Zait jurusan Bahasa Arab adalah salah seorang yang mengalami kepedihan yang berulang di Tepi Barat. Ia bersama temannya yang juga membawa pola fikir perlawaanan terhadap penjajahan, selalu diawasi oleh milisi Dayton sebagai kepanjangan tangan penjajah.
Sari Taha menjalani setengah waktu hidupnya di dalam penjara Israel dan penjara Dayton. Namun penjara Dyaton sangat berbeda dengan penjara Israel. Ia ditangkap oleh milisi Abbas pada 14/7/2009, lalu dimasukan ke ruang tahanan untuk diinterogasi. Inilah yang menyebabkan ia mengalami berbagai macam penyakit secara fisik maupun psikis. Ia dituduh menyabarkan selebaran yang menganggu kewibawaan negara.
Walau ia tidak terbukti melakukan sesuatu yang dituduhkan, namun ia tetap dipenjara selama lima bulan tanpa proses hukum yang jelas. Hingga akhirnya ia dibebaskan atas keputusan mahkamah tinggi yang membatalkan semua keputusan aparat milisi bersama intelijenya yang mengubah setatusnya menjadi tahanan militer.
Sari akhirnya keluar dari penjara pada 14/12/2009. Setelah 12 hari bebas, kemudian ia ditangkap kembali oleh aparat intelijen Palestina yang kemudian diserahkan kepada dinas intelijen yang bertanggung jawab dalam tahanan militer.
Pada tanggal 10/1/2010 Sari dijatuhi hukuman penjara tiga tahun oleh mahkamah militer Ramallah dengan tuduhan menghina kedudukan badan tinggi negara dalam beberapa makalahnya yang ternyata bukan tulisannya dia.
Ini bukan cerita fiksi, tapi benar-benar terjadi di Tepi Barat. Kisah Sari hanyalah salah satu dari puluhan kisah yang dialami rakyat Palestina lainya yang sama-sama berjuang.
Banyak sekali kepedihan, kesengsaraan yang dialami tiap harinya oleh rakyat Palestina semuanya tanpa kecuali. Penderitaan tawanan, penangkapan, penyiksaan, penghinaan atau dihilangkang sejumlah hak-hak kemanusiaan paling mendasar. Seperti hak hidup, hak mencari rizki, belajar dan penopang kehidupan.
Di Tepi Barat hanyalah penderitaan hidup dengan segala maknanya. Media pun berperan dalam menambah penderitaan rakyat. Dengan tidak mengeskpos mereka ke dunia internasional yang mengakibatkan masyarakat dunia tidak mendapat gembaran yang benar atas penderitaaan ribuan tawanan, keluarga tawanan dan orang-orang yang terhalang hak-haknya di Tepi Barat.
Dalam pada itu, penulis meminta semua lembaga HAM dan seluruh koresponden media, termasuk semua organisasi kemanusiaan dunia untuk berpihak pada masalah tawanan Tepi Barat. Di samping berusaha membongkar kejahatan milisi Dayton yang dipimpin Abbas kepada dunia internasional.
Masalah Palestina di Tepi Barat perlu perhatian semua pihak. Karena mereka hidup ditengah kebiadadan penjajah dan kebengisan tentara milisi Abbas yang disetir jenderal Dayton sebagai kaki tanganya Zionis. (asy/ip/ut)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar