Sabtu, 19 Juni 2010

Tidak ada istilah haram dalam bermusik

 

Suatu masalah yang menimpa mayoritas umat manusia termasuk umat Islam adalah masalah nyanyian dan musik. Terlepas dari hukum nyanyian dan musik tersebut, mayoritas umat manusia dan juga umat Islam menyukai sesuatu yang indah dan merdu didengar.
Secara fitrah manusia menyenangi suara gemercik air yang turun ke bawah, kicau burung dan suara binatang-binatang di alam bebas, senandung suara yang merdu dan suara alam lainnya. Nyanyian dan musik merupakan bagian dari seni yang menimbulkan keindahan, terutama bagi pendengaran.
Allah SWT. menghalalkan bagi manusia untuk menikmati keindahan alam, mendengar suara-suara yang merdu dan indah, karena memang itu semua itu diciptakan untuk manusia.
Disisi lain Allah SWT. telah mengharamkan sesuatu dan semuanya telah disebutkan dalam Al-Qur’an maupun hadits Rasulullah saw. Allah SWT. menghalalkan yang baik dan mengharamkan yang buruk. Halal dan haram telah jelas. Rasulullah saw. bersabda:
Artinya: “Sesungguhnya yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas. Diantara keduanya ada yang syubhat, manusia tidak banyak mengetahui. Siapa yang menjaga dari syubhat, maka selamatlah agama dan kehormatannya. Dan siapa yang jatuh pada syubhat, maka jatuh pada yang haram” (HR Bukhari dan Muslim).
Sehingga jelaslah semua urusan bagi umat Islam. Allah SWT. tidak membiarkan umat manusia hidup dalam kebingungan, semuanya telah diatur dalam Syariah Islam yang sangat jelas sebagaimana jelasnya matahari di siang hari. Oleh karena itu semua manusia harus komitmen pada Syari’ah Islam yang merupakan pedoman hidup mereka.

Bagaimana Islam berbicara tentang nyanyian dan musik ? Istilah yang biasa dipakai dalam madzhab Hanafi pada masalah nyanyian dan musik sudah masuk dalam ruang lingkup maa ta’ummu bihi balwa (sesuatu yang menimpa orang banyak). Sehingga pembahasan tentang dua masalah ini harus tuntas. Dan dalam memutuskan hukum pada dua masalah tersebut, apakah halal atau haram, harus benar-benar berlandaskan dalil yang shahih (benar) dan sharih (jelas). Dan tajarud, yakni hanya tunduk dan mengikuti sumber landasan Islam saja yaitu Al- Qur’an, Sunnah yang shahih dan Ijma. Tidak
terpengaruh oleh watak atau kecenderungan perorangan dan adat-istiadat atau budaya suatu masyarakat.
Sebelum membahas pendapat para ulama tentang dua masalah tersebut dan pembahasan dalilnya. Kita perlu mendudukkan dua masalah tersebut. Nyanyian dan musik dalam Fiqh Islam termasuk pada kategori muamalah atau urusan dunia dan bukan ibadah. Sehingga terikat dengan kaidah:
Hukum dasar pada sesuatu (muamalah) adalah halal (mubah). Hal ini sesuai firman Allah SWT. :
“Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu”
(QS Al-Baqarah 29).

Sehingga untuk memutuskan hukum haram pada masalah muamalah termasuk nyanyian dan musik harus didukung oleh landasan dalil yang shahih dan sharih. Rasulullah saw. bersabda:“Sesungguhnya Allah ‘Aza wa Jalla telah menetapkan kewajiban, janganlah engkau lalaikan, menetapkan hudud, jangan engkau langgar, mengharamkan sesuatu jangan engkau lakukan. Dan diam atas sesuatu, sebagai rahmat untukmu dan tidak karena lupa, maka jangan engkau cari-cari (hukumnya) “ (HR Ad-Daruqutni).
“Sesungguhnya Allah ‘Aza wa Jalla telah menetapkan kewajiban, janganlah engkau lalaikan, menetapkan hudud, jangan engkau langgar, mengharamkan sesuatu jangan engkau lakukan. Dan diam atas sesuatu, sebagai rahmat untukmu dan tidak karena lupa, maka jangan engkau cari-cari (hukumnya) “ (HR Ad-Daruqutni).
Halal adalah sesuatu yang Allah halalkan dalam kitab-Nya. Dan haram adalah sesuatu yang Allah haramkan dalam kitab-Nya. Sedangkan yang Allah diamkan maka itu adalah sesuatu yang dimaafkan” (HR at-Tirmidzi, Ibnu Majah dan al-Hakim

Pada hukum nyanyian dan musik ada yang disepakati dan ada yang diperselisihkan. Ulama sepakat mengharamkan nyanyian yang berisi syair-syair kotor, jorok dan cabul. Sebagaimana perkataan lain, secara umum yang kotor dan jorok diharamkan dalam Islam. Ulama juga sepakat membolehkan nyanyian yang baik,
Pendapat yang Lebih Moderat Di luar dari kalangan yang agak berhati-hati, ternyata kita pun mendapati adanya kalangan ulama yang lebih agak moderat. Di mana mereka tidak mengharamkan secara mutlak, melainkan masih memilah dan memberikan beberapa persyaratan tertentu.
Bila syaratnya terpenuhi, mendengarkan lagu atau musik itu masih bisa ditolelir. Sebaliknya, bila beberapa syarat kebolehan itu sampai terlanggar, maka hukumnya pun menjadi haram.
Di antara syarat-syarat yang harus diperhatikan dalam masalah musik dan mendengarkannya adalah:
Tidak boleh disertai kemungkaran, seperti sambil minum khomr, berjudi, zina dan campur baur laki dan wanita.
Tidak ada kekhawatiran timbulnya fitnah seperti menyebabkan timbul cinta birahi pada wanita atau sebaliknya.
Tidak menyebabkan lalai dan meninggalkan kewajiban, seperti meninggalkan shalat atau menunda-nundanya dan lain-lain.
Kesimpulannya bahwapada dasarnya mereka menghalalkan mendengar nyanyian, tetapi hukumnya berubah menjadi haram bila syarat-syaratnya tidak terpenuhi.
Adapun latar belakang mereka tidak mengharamkannya secara total, adalah karena mereka punya pendapat sendiri atas dalil-dalil yang mengharamkan di atas.
Hadits pertama diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam Shahihnya, dari Abi Malik Al-Asy`ari ra. Hadits ini walaupun terdapat dalam hadits Shahih Bukhari, tetapi para ulama memperselisihkannya.
Banyak di antara mereka yang mengatakan bahwa hadits ini adalah mualaq (sanadnya terputus), di antaranya dikatakan oleh Ibnu Hazm.

Di samping itu di antara para ulama menyatakan bahwa matan dan sanad hadits ini tidak selamat dari kegoncangan (idhtirab).
Katakanlah, bahwa hadits ini shahih, karena terdapat dalam hadits shahih Bukhari, tetapi nash dalam hadits ini masih bersifat umum, tidak menunjuk alat-alat tertentu dengan namanya. Batasan yang ada adalah bila ia melalaikan.
Hadits kedua dikatakan oleh Abu Dawud sebagai hadits mungkar. Bahkan meski hadits ini shahih, maka sebenarnya dari teks hadits itu tidak bisa dikatakan bahwa Rasulullah saw secara jelas telah mengharamkannya. Bahkan Rasulullah saw mendengarkannya sebagaimana juga yang dilakukan oleh Ibnu Umar.
Sedangkan hadits ketiga menurut mereka adalah hadits gharib. Dan hadits-hadits lain yang terkait dengan hukum musik, jika diteliti ternyata tidak ada yang shahih.
Imam Al-Haramain dalam kitabnya, An-Nihayah dan Ibnu Abi Ad-Dunya yang menukil dari Al-Itsbaat Al-Muarikhiin menyatakan bahwa Abdullah bin Zubair memiliki budak-budak wanita dan gitar.
Dan Ibnu Umar pernah ke rumahnya ternyata di sampingnya ada gitar, Ibnu Umar berkata, "Apa ini wahai sahabat Rasulullah saw?" Kemudian Ibnu Zubair mengambilkan untuknya, Ibnu Umar merenungi kemudian berkata, "Ini mizan syami (nama alat musik) dari Syam?` Berkata Ibnu Zubair, "Dengan ini akal seseorang bisa seimbang."
Adapun ulama yang menghalalkan musik sebagaimana di antaranya diungkapkan oleh Imam Asy-Syaukani dalam kitabnya, Nailul Authar adalah:
Ulama Madinah dan ulama Dzahiri dan jama`ah ahlu Sufi yang memberikan kemudahan (kebolehan) pada nyanyian walaupun dengan gitar dan biola`.
Juga diriwayatkan oleh Abu Manshur Al-Bagdadi As-Syafi`i dalam kitabnya bahwa Abdullah bin Ja`far menganggap bahwa nyanyi tidak apa-apa, bahkan membolehkan budak-budak wanita untuk menyanyi dan beliau sendiri mendengarkan alunan suaranya. Dan hal itu terjadi di masa khilafah Amirul Mukminin Ali ra.
Begitu juga Abu Manshur meriwayatkan hal serupa pada Qodhi Syuraikh, Said bin Al-Musayyib, Atho bin abi Ribah, Az-Zuhri dan Asy-Sya`bi.

Demikianlah pendapat ulama tentang mendengarkan alat musik. Dan jika diteliti dengan cermat, maka ulama muta`akhirin yang mengharamkan alat musik karena mereka mengambil sikap wara` (hati-hati). Mereka melihat kerusakan yang timbul di masanya.
Sedangkan ulama salaf dari kalangan sahabat dan tabi`in menghalalkan alat musik karena mereka melihat memang tidak ada dalil baik dari Al-Qur`an maupun hadits yang jelas mengharamkannya. 

Tidak ada komentar:

 
;