PADA suatu ketika Allah Subhana Wa Ta'ala menguji keluarga Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu'anhu Salah seorang dari kedua anaknya ditimpa demam tinggi. Demi kesembuhannya, ia melakukan pelbagai ikhtiar.
Mulai dari usaha konvensional hingga yang bersifat spiritual, seperti dengan memberikan tindakan medis yang selaras dengan konteks zaman. Atau, lewat doa, bahkan bernazar. Dalam nazarnya itu Ali bin Abi Thalib Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu'anhu menyatakan bahwa ia akan melaksanakan puasa selama tiga hari berturut-turut apabila anaknya itu sembuh.
Segala puji Milik Allah. Selang beberapa waktu, kesehatan anaknya pulih kembali. Allah Subhana Wa Ta'ala mengabulkan doanya. Oleh karena itu, ia sangat bersyukur. Maka, keesokan harinya ia mulai melaksanakan puasa nazarnya. Dalam hal ini ia disertai istri tercintanya, Fatimah al-Zahra binti Rasulullah Shallahu 'Alaihi Wa Sallam.
Waktu bergulir. Pagi berganti siang. Petang menyusul, kemudian waktu magrib pun akhirnya tiba. Ketika pasangan suami-istri itu hendak berbuka dengan makanan alakadarnya, tiba-tiba pintu rumah diketuk orang.
Tamu yang tidak diundang itu ternyata seorang miskin papa. Ia datang untuk meminta belas kasihan, karena didera lapar seharian penuh. Tanpa berpikir panjang, keluarga suci itu segera memberikan makanan yang sedianya akan mereka santap. Tidak heran malam itu mereka berbuka puasa hanya dengan beberapa teguk air.
Esoknya mereka berpuasa lagi. Hari itu berlalu seperti biasa. Namun, kala waktu magrib tiba, pintu rumah lagi-lagi diketuk orang.Kini yang datang adalah seorang anak yatim. Sebelum yang bersangkutan mengutarakan maksudnya, mereka sudah jatuh iba. Kondisi anak yatim itu memang sangat memprihatinkan sehingga mereka memberinya makanan, yang sejatinya dipersiapkan untuk berbuka puasa, Malam itu pun mereka lalui dengan perut lapar.
Kini, mereka telah berada pada hari ketiga dari puasa nazarnya. Karena berkah Allah Subhana Wa Ta'ala dalam segala hal, mereka tampil tetap dalam kondisi prima. Tidak kecuali dalam menjalani maisyah, atau kehidupan dunia ini. Sebagaimana hari-hari sebelumnya, ketika menjelang magrib, ketika mereka mempersiapkan diri untuk berbuka, seseorang datang memohon belas kasihan.
Kali ini adalah seorang tawanan perang. Lantaran mengutamakan orang lain sudah menjadi sifat keluarga itu, tidak mengejutkan jika makanan yang sudah terhidang untuk berbuka pun mereka berikan kepadanya dengan penuh keikhlasan.Dengan demikian, selama keluarga suci itu menunaikan puasa nazar, maka tidak sebutir kurma atau sepotong roti pun yang masuk ke perut mereka. Sungguh mengagumkan perilaku pasangan suami-istri itu. Mereka sanggup menahan lapar berhari-hari, lantaran lebih mengutamakan orang lain dari kalangan akar rumput. Lagi pula, semua itu mereka lakukan tanpa pamrih, kecuali mengharapkan rida Allah Subhana Wa Ta'ala.
Atas kedermawanan Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu 'Anhu dan Fathimah al-Zahra tersebut, menurut Ibn Abbas, Allah Subhana Wa Ta'ala berkenan menurunkan ayat-ayat berikut ini.
"Mereka melaksanakan nazar dan takut akan suatu hari, yang azabnya merata di mana-mana. Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim dan orang tawanan. Sungguh, kami memberikan makanan kepadamu hanyalah demi mengharap keridaan Allah Subhana Wa Ta'ala. Kami tidak menghendaki balasan darimu dan tidak pula ucapan terima kasih. Sesungguhnya kami takut akan azab suatu hari, yang pada saat itu orang-orang bermuka masam penuh kesulitan, yang datang dari Tuhan kami (lihat QS Al-Insan 76: 7-10).
Wahyu itu turun, jelas sebagai bentuk apresiasi terhadap kedermawanan Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu 'Anhu dan istrinya, Fathimah binti Rasulullah Shallahu 'Alaihi Wa Sallam . ***
( KEMBANG ANGGREK) Oleh A. HAJAR SANUSI
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar