Jumat, 10 Oktober 2008 10:13
Cerita pertama : "Abis gimana pak, dulu di tempat kerja saya sih emang enak. Selain gaji, masih dapat uang lemburan, trus kalo terima komplen dari kastemer, atau ada kastemer yang buka jalur, saya dapet insentif juga. Nah kalo sekarang, boro-boro. Cuma dapet gaji pokok ama lemburan doang. Bukannya saya matre, cuma kerja jadi ngga semangat. Pokoknya.. saya jadi males dan bete, deh."
Cerita kedua : "Pak, aku punya masalah gini. Aku punya temen baru orang seberang. Nah, awalnya dia minta bantuan aku untuk mengakomodir kebutuhan dia terutama karena dia kan belum tau daerah tempat tinggal aku. Tapi kok, belakangan ini malah jadi aneh. Aku malah jadi kayak dimusuhin sama dia. Mungkin emang perhatianku ke dia dianggap berlebih. Tapi aku melakukan itu cuma karena aku kesian. Dia sendirian di sini. Eh, lama-lama aku ini dianggapa sebagai 'pengganggu ketenangan' hidupnya. Lho, kok gitu sih? Eh, selidik punya selidik, tau-tau baru ketauan kalo dia itu ternyata punya demenan yang demenannya itu juga temen aku sendiri, pak! Lagian siapa juga yang mau ngerebut dia? Pantesan temen saya juga sikapnya ke saya selalu berlebihan.."
* * *
Dua cerita yang berbeda, tapi dengan inti yang sama, kemarin datang ke hadapan saya. Siapa orang, tak perlulah disebutkan di sini. Selain kurang etis, nggak enak juga sama narasumber. Lha wong saya bikin cerita ini tanpa persetujuan mereka (lhoo.. maksudnya?).
* * *
Cerita pertama tentang seorang karyawan yang selama ini memang mendapatkan gaji besar dan berikut dengan tunjangan dan tambahannya. Hal itu juga yang mendasari kenapa dia mau terima kerja di tempat itu sebagai Customer Service atau Layanan Konsumen. Tugasnya cuma terima telepon dari pelanggan, entah pelanggan yang tertarik dengan perusahaan itu atau pelanggan yang mau komplen. Semua dilakukan dengan ikhlas karena bayaran yang ia terima memang setimpal. Bayangin, diomelin orang sehari-hari dibayar sampai lebih dari 5 juta perbulan. Siapa yang nggak mau?
Nah, begitu ganti manajemen dan segala fasilitas tersebut dihilangkan, sementara beban kerja, tanggung jawab, diomelin orang, itu juga masih tetep, berubahlah pemikiran. Dikaji ulanglah rasa keikhlasan itu. Dan klimaksnya ialah, saat kemarin semua orang asik mudik lebaran, dia harus masuk kerja. Dan karena suasana kerja yang sudah tidak asyik, sudah tidak kondusif (baca : gaji), maka dengan setengah hati dia bekerja. Saat pulang cuma sendiri di rumah karena keluarganya dan si 'mbak'nya ikut pulang kampung.
"Sedih banget gue. Yang gue belain kerja taunya malah nggak ngehargain gue", begitu katanya sambil tersedu sedan.
* * *
Cerita kedua, itu tentang solider sesama teman. Tapi, seperti kata pepatah, 'teman makan teman'. Teman sendiri disikat. Jadi si perantau itu datang ke tempat kawan saya tinggal, minta bantuan akomodir keberadaan dia. Terus karena kawan saya ini kelewat baik dan terlalu perhatian (baca : want to know urusan) si perantau itu. Di samping itu kenyataannya si perantau ini malah memadu kasih dengan teman dekat kawan saya.
Salahnya, menurut saya, karena mereka berbeda jenis. Si perantau laki-laki dan kawan saya perempuan. Nah, perhatian dari kawan saya yang perempuan ini ditanggapi baik awalnya. Tapi begitu si perantau 'punya si dia' yang juga teman baik kawan saya, jadilah semua urusan runyam. 'Temen sih temen' cuma jangan sampai 'jeruk makan jeruk'. Rasa cemburu lebih menguasai dan menghilangkan akal sehat dan pertemanan. Yah, rebutan cowok lah, bahasa gaulnya. Iih, nggak keren amet deh..
"Kesel banget deh pak. Lagian, siapa sih yang mau ama tu orang. Nggak keren-keren amat. Masih banyak yang laen yang lebih oke", kata dia dengan gemas.
* * *
Kedua hal cerita tersebut di atas sengaja saya sajikan bagi anda, para pembaca. Bukan bermaksud ghibah, gosip atau ngomongin orang. Tapi pelajaran tentang niat awal yang kata Nabi SAW, itulah yang menjadi dasar utama setiap tindakan kita. Mungkin kitanya sih ikhlas dan tulus hati, melakukan itu semua karena dasarnya kita memang senang melihat orang lain senang.
Eits, sebentar. Kalau cerita yang pertama karena dasar gaji yang diterima angkanya berjut-jut. Tapi dia juga ngakunya ikhlas kok. Dan saya pikir, kita hargai keikhlasannya.
Cerita yang kedua juga berdasarkan sikap senang menolong sesama, tanpa ada maksud apa-apa. Apalagi terkait dengan memberikan perhatian lebih supaya juga mendapat hasil lebih. Tidak, dia memang senang menolong. Jadi tidak ada niat untuk 'main mata'. Cuma ya, akhirnya keikhlasan dia malah diuji dengan penolakan yang baginya 'sungguh menyakitkan'. Kekesalan hati karena dianggap caper, cari perhatian.
Penutup
Setiap orang punya persoalan masing-masing dalam hidup terkait dengan apakah niat awalnya saat dia melakukan suatu tindakan. Dan sebaiknya sih, menurut saya, katakan pula bahwa niat kita bekerja atau membantu, itu karena seikhlas hati atau memang menuntut adanya feedback atau umpan balik.
Kalau yang pertama karena tujuannya gaji yang menggiurkan dan sekarang sudah tidak, jujurlah katakan bahwa 'saya mau bekerja di sini karena gajinya besar'. Yang kalau tidak sesuai dengan target, maka keluarlah baik-baik. Jangan berimbas dengan kualitas kerja yang menurun. Hal itu bisa berimplikasi buruk pada catatan pekerjaan kita.
Lebih baik tertulis bahwa kita keluar karena gaji tidak seusai dengan harapan, daripada yang tertulis karena kita dianggap malas atau bahkan sampai wanprestasi.
Sementara persoalan yang kedua, sebaiknya kalau memang lawan jenis, berikan saja perhatian secukupnya. Jangan memulai sesuatu yang nantinya berakibat pada hal-hal yang tidak mengenakkan hati, akibat keterbatasan lawan jenis.
Seorang perempuan atau laki-laki yang memberikan perhatian lebih, itu biasanya akan dianggap dua : sebagai perhatian biasa atau perhatian khusus. Kalau dianggap sebagai perhatian biasa, selamatlah pertemanan. Kalau perhatian khusus, dan tidak ada saingan, bisa jadi sampai pelaminan.
Tapi kalau yang seperti itu dan ternyata tidak sukses, persahabatan taruhannya. Dan bersiaplah untuk kecewa, karena kita akan jadi obyek 'omongan' orang..
Gitu aja dulu kali ya..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar