Senin, 30 Juni 2008 0 comments

Cerita Anak 4


Percayai Aku, Bunda…

Friday, August 13, 2004 - Sumber : Aat Danamihardja (Bobo No. 52/XXIX)


“Hampir sampai, nih!” Jingga menepuk bahu Galih yang dari tadi bengong.
Galih menoleh sambil tersenyum, berusaha menyembunyikan kekagetannya.
Tapi…
” Astaga!” Galih menepuk dahinya.
“Kenapa, Lih?” Jingga heran.
“Aku lupa minta ongkos pada Bunda, “Galih kebingungan.
“Ya sudah, pakai uangku saja,” Jingga memutuskan.

Begini jadinya kalau terlambat bangun, batin Galih. Pergi terburu-buru, tanpa sarapan, dan yang paling parah, ya itu, lupa minta uang pada Bunda. Bunda juga lupa sepertinya. Padahal pergi dan pulang sekolah Galih harus naik bis kota. Belum lagi kalau lapar, harus jajan.
Tadi malam Galih memang susah tidur. Dia terus memikirkan sikap bundanya yang tidak percaya padanya. Bunda menganggap Galih pemboros, tak pandai mengatur uang, suka belanja, dan banyak lagi julukan lain yang Bunda berikan pada Galih. Yang membuat Galih paling kesal, Bunda memperlakukannya seperti anak kelas tiga SD. Uang saku diberikan setiap mau berangkat sekolah. Sebel banget! Batin Galih.

“Bunda payah, Ga! Tidak mau memberiku uang saku bulanan. Padahal kan, repot, kalau kejadian seperti ini terjadi. Untung ada kamu. Kalau tidak, aku tidak tahu harus berbuat apa, “Galih melontarkan kekesalannya saat mereka turun dari bis kota. Jingga tersenyum.
“Masih untung kamu dapat uang saku harian. Coba kalau tidak dapat samasekali, kan lebih parah,” goda Jingga. “Eh, Lih! Mungkin bundamu punya pertimbangan lain,” sambung Jingga.

“Pertimbangan apa? Pertimbangan pelit?”
“Ya… siapa tahu kamu pernah melakukan kesalahan. Sehingga bundamu menganggap kamu pemboros. Coba ingat-ingat.”

“Mmm, aku memang dulu pernah melakukan kesalahan. Dulu Bunda selalu memberiku uang saku untuk seminggu. Tapi baru hari keempat uang itu selalu sudah habis. Sejak itu Bunda memberiku uang saku harian.”

“Nah, itu kamu tahu penyebabnya. Jadi memang ada alasannya, kan, bundamu tidak memberi uang bulanan.”
“Ya… tapi itu kan dulu, Ga! Masa’ sekarang Bunda masih belum bisa mempercayai aku.”

Jingga tersenyum. “Galih, kamu harus berusaha mengembalikan kepercayaan Bunda dengan melakukan sesuatu.”
Galih mengernyit, “Melakukan apa?”

“Coba kamu sisihkan sebagian uang sakumu setiap hari. Tunjukkan pada Bunda bahwa kamu bisa mengatur uang saku. Mudah-mudahan bundamu akan berubah pikiran tentang kamu."
“Kamu yakin itu akan berhasil?” Galih ragu.
“Coba dulu, baru kasih komentar!”

Ya, memang tak ada salahnya mengikuti saran Jingga, pikir Galih. Lagipula saran Jingga cukup masuk akal. Mencoba mendapat kepercayaan Bunda dengan melakukan sesuatu. Bukan dengan janji-janji.
Galih pun mulai menyisihkan uang sakunya. Ia juga mulai belajar mencatat pengeluaran dan pemasukan uangnya sekecil apapun.Tanpa terasa dua minggu pun berlalu.

“Ah…” Galih menarik napas lega memandangi lembaran ribuan di kotak bekas coklat di atas meja belajarnya. “Coba dari dulu aku menabung,“Galih bergumam lirih.
“Tak perlu menyesal. Tak ada kata terlambat untuk melakukan kebaikan, sayang…” suara merdu berbisik di telinga Galih. Galih menoleh.
“Bunda…”

Bunda tersenyum sambil mengusap rambut Galih. “Bunda tahu kamu sedang berusaha berubah. Diam-diam Bunda selalu mengikuti apa yang kamu lakukan.”
“Terima kasih Bunda. Cuma…”Galih menggaruk-garuk kepalanya.
“Cuma apa!” Bunda mengerutkan dahinya.

“Bunda jangan bikin aku harus berhutang pada kondektur bis, dong! Gara-gara Bunda lupa memberiku ongkos.”
“Ha ha ha, itu tak akan terjadi lagi, sayang. Mulai besok kamu akan mendapat uang bulanan. Jadi, kalau kamu lupa bawa ongkos, bukan tanggung jawab Bunda lagi!” Bunda menjentik hidung Galih.

Galih memeluk bundanya erat-erat. Galih sangat bahagia. Bukan cuma karena ia mendapat uang bulanan, tapi kepercayaan Bunda pada dirinya. Galih ingin hari segera pagi. Ia sudah tak sabar ingin mengabarkan semuanya pada Jingga.

Kado Ulang Tahun Dari Mama

Thursday, September 16, 2004 - Sumber : Cincin Bibi Marlupi (Kumpulan Cerita Anak).


Setiap tanggal 7 Juni Mama selalu merayakan ulang tahunku. Pada ulang tahunku yang ke 12, mama memberiku sebuah kado yang sangat menarik. Sebuah sepeda mini termahal yang pernah dijual di Indonesia.

Aku senang menerima hadiah dari mama. Bukan saja karena harganya yang sangat mahal, tetapi juga karena mama memperbolehkan aku bersepeda ke sekolah.

"Ketika usiamu menginjak 12 tahun engkau boleh bersepeda ke sekolah," kata mama suatu hari.

"Kenapa harus menunggu usia 12 tahun?" aku bertanya dengan kesal.

"Tubuhmu kecil Nita. Kalau engkau bersepeda pada usia 10 tahun, aku khawatir akan keselamatanmu. Kendaraan yang begitu padat selalu menghantuiku."

Akhirnya aku memaklumi kekhawatiran mama.

Kini aku boleh bersepeda ke sekolah. Teman-temanku menyambutku dengan riang. Mereka senang karena aku mempunyai sepeda baru.

"Aku boleh pinjam ya Nita?" seru Triana sambil mendekatiku.

"Aku juga ya Nita?" kata yang lain.

Aku mengangguk lemah. Bukan aku tidak mau memberi pinjaman kepada teman. Aku khawatir mereka tidak bisa bersepeda dengan baik. Jika jatuh tentu sepedaku lecet, atau ada bagian yang rusak. Tapi tak mungkin aku menolak keinginannya.

"Tapi hati-hati ya!" seruku mengingatkan.

Triana senang sekali ketika aku mengijinkan dia naik sepeda. Selama ini dia tidak pernah mempunyai sepeda. Kalau ingin naik sepeda selalu pinjam teman. Biasanya teman-teman jarang yang memberi pinjaman. Alasannya sederhana saja, takut sepedanya rusak.

Aku hanya melihat-lihat Triana bersepeda. Suatu saat hampir saja ia jatuh, tapi aku berhasil menangkapnya. Setelah itu aku tidak memperbolehkannya lagi. Setelah Triana kini Nunung yang pinjam. Karena aku sudah berjanji untuk memberikan pinjaman maka kuberikan sepeda kesayanganku.

Nunung lebih mahir bersepeda dari pada Triana, walaupun begitu dia agak ugal-ugalan. Di tempat yang sempit pun dia berani naik sepeda. Karena sikapnya yang ugal-ugalan itu maka ia terjatuh. Aku menjerit tapi Nunung hanya tersenyum saja.

"Wah...pasti aku dimarahi mama," kataku kepada Nunung.

"Ah begitu saja marah. Mana mungkin mamamu akan marah? Bukankan kamu anak kesayangan?" kata Nunung tanpa memperdulikan perasaanku.

"Enak saja kamu berbicara. Di rumah pasti mama memarahiku. Bisa-bisa aku tidak boleh naik sepeda lagi."

Ketika pulang sekolah hatiku bimbang. Pikiranku hanya teringat mama. Kalau aku bercerita terus terang tentu mama akan marah, tapi jika aku berbohong aku merasa berdosa. Kini sayap depan sepedaku terkelupas sedikit. Mama pasti akan mengetahuinya. Karena itu aku akan bercerita terus terang.

"Bagaimana Nita enak kan memakai sepeda baru?"

Aku mengangguk.

"Lho, kenapa wajahmu kusam? Ada apa, sayang?"

Aku secepatnya menjelaskan masalahnya. Hatiku bimbang.

"Jadi temanmu yang jatuh?"

Aku mengangguk.

"Semahal apapun sepeda tidak lebih baik dari persahabatan," kata mama dengan wajah tenang.

"Maksud mama?"

"Jangan risaukan semua itu. Mama memang memberimu hadiah ulang tahun, tapi mana mungkin engkau sendiri yang akan naik sepeda? Bukankah teman-temanmu juga ingin mencobanya?"

Sungguh aku malu kepada Nunung. Ketika Nunung menjatuhkan sepedaku, aku cemberut dan marah-marah. Ternyata mama justru sebaliknya.

"Apakah engkau memarahi Nunung?"

"Tentu saja Ma. Aku sayang sekali dengan sepeda baru itu. Mama membelinya dengan uang yang sangat banyak."

Mama tertawa mendengar pengakuanku.

"Nita, Nita...sekali lagi mama katakan...jangan engkau tukar persahabatan dengan sebuah sepeda. Jika engkau tidak mempunyai teman, pasti engkau susah. Tetapi jika kamu bersepeda dengan sepeda yang rusak sedikit, engkau masih tetap bahagia."

Keesokan harinya, aku buru-buru menemui Nunung. Aku ingin minta maaf karena aku marah-marah kepadanya. Tetapi kata Triana, Nunung tidak masuk sekolah karena takut telah merusak sepedaku. Aku mengajak Triana ke rumah Nunung. Begitu tahu kedatanganku, Nunung berlari masuk ke rumahnya.

"Nunung, aku datang untuk minta maaf kepadamu. Mama tidak memarahiku, mama maklum kesalahanmu. Karena itu aku kemari ingin minta maaf."

Tak berapa lama, Nunung keluar dari kamarnya dan segera memelukku.

"Maafkan aku, Nita. Aku telah merusak sepeda kesayanganmu!"

"Maafkan aku juga Nung. Aku terlalu emosi!"

Kami menjadi teman baik kembali.

Hadiah Dari Ayah

Tuesday, March 07, 2006 - Sumber : Martina Lianty (Bobo No. 47/XXIX)


Oleh: Martina Lianty (Bobo No. 47/XXIX)

Sudah dua hari ini aku menjadi pendiam. Aku sering menyendiri dan melamun. Bahkan pernah, saat istirahat sekolah tiba-tiba aku menangis tersedu-sedu. Monita yang duduk di sebelahku sampai merasa heran. "Sudahlah, Wi! Malu dilihat teman-teman," ujar Monita. Aku berusaha menahan tangisku.

Pulang sekolah hari ini aku semakin gelisah. Biasanya kalau Sabtu begini aku paling bersemangat. Selain besoknya libur, hari Sabtu selalu istimewa bagiku. Sebab ayahku yang bekerja di luar kota pasti pulang. Aku bertemu Ayah hanya pada hari Sabtu dan Minggu.
Tetapi hari Sabtu kali ini suasananya berbeda sekali.
"Makan dulu, Wi! Tenagamu kan banyak berkurang di sekolah," tegur Ibu. Aku hanya menggeleng.
"Masih kenyang, Bu."

Aku masuk ke kamar dan merebahkan badan di tempat tidur. Pikirkanku melayang. Yang membuatku sedih adalah Ayah berjanji akan menghadiahiku boneka beruang besar kalau nilaiku tetap bagus. Namun, dua hari lalu aku harus menerima nasib buruk. Rapor cawu II ku jeblok. Angka 5 tertera di barisan sejarah. Padahal di rapor sebelumnya aku menduduki peringkat ke-3. Ayah belum tahu hasil raporku ini.
Menjelang malam, terdengar ketukan di pintu. Ayah lalu masuk sambil menenteng bungkusan yang sangat besar. Wajah Ayah berseri-seri. Tetapi aku justru sembunyi di balik bantal. Aku tak berani memandang wajah Ayah yang berbinar-binar itu.

"Dewi!" sapa Ayah sambil duduk di pinggir tempat tidur. Aku tak berani menjawab. Aku tahu Ayah pasti sangat marah. Kemudian, terdengar suara Ibu yang juga ikut masuk ke kamarku.
"Dewi, bangun sayang!" kata Ibu sambil menyentuh pundakku. "Masalah tidak akan selesai kalau kamu hanya sembunyi di balik bantal."
Aku akhirnya menggeser bantalku. Sambil tertunduk, aku duduk di sisi Ayah. Dengan memberanikan diri, kupandang wajah Ayah yang tampak kecewa. Hatiku pedih.

"Maafkan Dewi, Yah!" kataku pelan. "Dewi terlalu banyak main. Jangan marah ya, Yah!" Ayah menghela nafas.
"Ayah tidak marah. Nilai rapormu, kan, laporan dari hasil kerjamu sendiri selama ini. Rapor-mu yang sebelumnya, kan, bagus. Sayang kalau hasil kerja kerasmu dulu itu jadi sia-sia," ujar Ayah sambil tersenyum ramah. Aku terdiam.

Ayah berdiri lalu menyerahkan bungkusan yang tadi dibawanya.
"Boneka ini Ayah beli untukmu. Apapun hasil rapormu, terimalah!"
Aku menerima boneka itu dengan hati pedih.
Ketika Ayah kembali ke luar kota, aku hanya bisa menatap mata bening beruang yang memandangiku. "Beruang, duduklah di situ untuk melihatku belajar. Kalau aku malas lagi, aku akan mengingatmu sebagai hadiah atas kesalahanku."

Boneka itu masih duduk di atas tempat tidurku. Aku bisa memandanginya setiap saat. Kini boneka beruang itu menjadi peringatan ketika aku mulai malas belajar. Pandangan matanya seperti memberiku peringatan.
0 comments

Cerita Anak 3

Kancil Si Pencuri Timun

Wednesday, October 01, 2003 - Sumber : www.e-smartschool.com


Siang itu panas sekali. Matahari bersinar garang. Tapi hal itu tidak terlalu dirasakan oleh Kancil. Dia sedang tidur nyenyak di bawah sebatang pohon yang rindang. Tiba-tiba saja mimpi indahnya terputus. "Tolong! Tolong! " terdengar teriakan dan jeritan berulang-ulang. Lalu terdengar suara derap kaki binatang yang sedang berlari-lari. "Ada apa, sih?" kata Kancil. Matanya berkejap-kejap, terasa berat untuk dibuka karena masih mengantuk. Di kejauhan tampak segerombolan binatang berlari-lari menuju ke arahnya. "Kebakaran! Kebakaran! " teriak Kambing. " Ayo lari, Cil! Ada kebakaran di hutan! " Memang benar. Asap tebal membubung tinggi ke angkasa. Kancil ketakutan melihatnya. Dia langsung bangkit dan berlari mengikuti teman-temannya. Kancil terus berlari. Wah, cepat juga larinya. Ya, walaupun Kancil bertubuh kecil, tapi dia dapat berlari cepat. Tanpa terasa, Kancil telah berlari jauh, meninggalkan teman-temannya. "Aduh, napasku habis rasanya," Kancil berhenti dengan napas terengah-engah, lalu duduk beristirahat. "Lho, di mana binatang-binatang lainnya?" Walaupun Kancil senang karena lolos dari bahaya, tiba-tiba ia merasa takut. "Wah, aku berada di mana sekarang? Sepertinya belum pernah ke sini." Kancil berjalan sambil mengamati daerah sekitarnya. "Waduh, aku tersesat. Sendirian lagi. Bagaimana ini?'7 Kancil semakin takut dan bingung. "Tuhan, tolonglah aku." Kancil terus berjalan menjelajahi hutan yang belum pernah dilaluinya. Tanpa terasa, dia tiba di pinggir hutan. Ia melihat sebuah ladang milik Pak Tani. "Ladang sayur dan buah-buahan? Oh, syukurlah. Terima kasih, Tuhan," mata Kancil membelalak. Ladang itu penuh dengan sayur dan buah-buahan yang siap dipanen. Wow, asyik sekali! "Kebetulan nih, aku haus dan lapar sekali," kata Kancil sambil menelan air liurnya. "Tenggorokanku juga terasa kering. Dan perutku keroncongan minta diisi. Makan dulu, ah." Dengan tanpa dosa, Kancil melahap sayur dan buahbuahan yang ada di ladang. Wah, kasihan Pak Tani. Dia pasti marah kalau melihat kejadian ini. Si Kancil nakal sekali, ya? "Hmm, sedap sekali," kata Kancil sambil mengusap-usap perutnya yang kekenyangan. "Andai setiap hari pesta seperti ini, pasti asyik." Setelah puas, Kancil merebahkan dirinya di bawah sebatang pohon yang rindang. Semilir angin yang bertiup, membuatnya mengantuk. "Oahem, aku jadi kepingin tidur lagi," kata Kancil sambil menguap. Akhirnya binatang yang nakal itu tertidur, melanjutkan tidur siangnya yang terganggu gara-gara kebakaran di hutan tadi. Wah, tidurnya begitu pulas, sampai terdengar suara dengkurannya. Krr... krr... krrr... Ketika bangun pada keesokan harinya, Kancil merasa lapar lagi. "Wah, pesta berlanjut lagi, nih," kata Kancil pada dirinya sendiri. "Kali ini aku pilih-pilih dulu, ah. Siapa tahu ada buah timun kesukaanku." Maka Kancil berjalan-jalan mengitari ladang Pak Tani yang luas itu. "Wow, itu dia yang kucari! " seru Kancil gembira. "Hmm, timunnya kelihatan begitu segar. Besarbesar lagi! Wah, pasti sedap nih." Kancil langsung makan buah timun sampai kenyang. "Wow, sedap sekali sarapan timun," kata Kancil sambil tersenyum puas. Hari sudah agak siang. Lalu Kancil kembali ke bawah pohon rindang untuk beristirahat. Pak Tani terkejut sekali ketika melihat ladangnya. "Wah, ladang timunku kok jadi berantakan-begini," kata Pak Tani geram. "Perbuatan siapa, ya? Pasti ada hama baru yang ganas. Atau mungkinkah ada bocah nakal atau binatang lapar yang mencuri timunku?" Ladang timun itu memang benar-benar berantakan. Banyak pohon timun yang rusak karena terinjak-injak. Dan banyak pula serpihan buah timun yang berserakan di tanah. 7 @ Hm, awas, ya, kalau sampai tertangkap! " omel Pak Tani sambil mengibas-ngibaskan sabitnya. "Panen timunku jadi berantakan." Maka seharian Pak Tani sibuk membenahi kembali ladangnya yang berantakan. Dari tempat istirahatnya, Kancil terus memperhatikan Pak Tani itu. "Hmm, dia pasti yang bernama Pak Tani," kata Kancil pada dirinya sendiri. "Kumisnya boleh juga. Tebal,' hitam, dan melengkung ke atas. Lucu sekali. Hi... hi... hi.... Sebelumnya Kancil memang belum pernah bertemu dengan manusia. Tapi dia sering mendengar cerita tentang Pak Tani dari teman-temannya. "Aduh, Pak Tani kok lama ya," ujar Kancil. Ya, dia telah menunggu lama sekali. Siang itu Kancil ingin makan timun lagi. Rupanya dia ketagihan makan buah timun yang segar itu. Sore harinya, Pak Tani pulang sambil memanggul keranjang berisi timun di bahunya. Dia pulang sambil mengomel, karena hasil panennya jadi berkurang. Dan waktunya habis untuk menata kembali ladangnya yang berantakan. "Ah, akhirnya tiba juga waktu yang kutunggu-tunggu," Kancil bangkit dan berjalan ke ladang. Binatang yang nakal itu kembali berpesta makan timun Pak Tani. Keesokan harinya, Pak Tani geram dan marah-marah melihat ladangnya berantakan lagi. "Benar-benar keterlaluan! " seru Pak Tani sambil mengepalkan tangannya. "Ternyata tanaman lainnya juga rusak dan dicuri." Pak Tani berlutut di tanah untuk mengetahui jejak si pencuri. "Hmm, pencurinya pasti binatang," kata Pak Tani. "Jejak kaki manusia tidak begini bentuknya." Pemilik ladang yang malang itu bertekad untuk menangkap si pencuri. "Aku harus membuat perangkap untuk menangkapnya! " Maka Pak Tani segera meninggalkan ladang. Setiba di rumahnya, dia membuat sebuah boneka yang menyerupai manusia. Lalu dia melumuri orang-orangan ladang itu dengan getah nangka yang lengket! Pak Tani kembali lagi ke ladang. Orang-orangan itu dipasangnya di tengah ladang timun. Bentuknya persis seperti manusia yang sedang berjaga-jaga. Pakaiannya yang kedodoran berkibar-kibar tertiup angin. Sementara kepalanya memakai caping, seperti milik Pak Tani. "Wah, sepertinya Pak Tani tidak sendiri lagi," ucap Kancil, yang melihat dari kejauhan. "Ia datang bersama temannya. Tapi mengapa temannya diam saja, dan Pak Tani meninggalkannya sendirian di tengah ladang?" Lama sekali Kancil menunggu kepergian teman Pak Tani. Akhirnya dia tak tahan. "Ah, lebih baik aku ke sana," kata Kancil memutuskan. "Sekalian minta maaf karena telah mencuri timun Pak Tani. Siapa tahu aku malah diberinya timun gratis." "Maafkan saya, Pak," sesal Kancil di depan orangorangan ladang itu. "Sayalah yang telah mencuri timun Pak Tani. Perut saya lapar sekali. Bapak tidak marah, kan?" Tentu saj,a orang-orangan ladang itu tidak menjawab. Berkali-kali Kancil meminta maaf. Tapi orang-orangan itu tetap diam. Wajahnya tersenyum, tampak seperti mengejek Kancil. "Huh, sombong sekali!" seru Kancil marah. "Aku minta maaf kok diam saja. Malah tersenyum mengejek. Memangnya lucu apa?" gerutunya. Akhirnya Kancil tak tahan lagi. Ditinjunya orangorangan ladang itu dengan tangan kanan. Buuuk! Lho, kok tangannya tidak bisa ditarik? Ditinjunya lagi dengan tangan kiri. Buuuk! Wah, kini kedua tangannya melekat erat di tubuh boneka itu. " Lepaskan tanganku! " teriak Kancil j engkel. " Kalau tidak, kutendang kau! " Buuuk! Kini kaki si Kancil malah melekat juga di tubuh orang-orangan itu. "Aduh, bagaimana ini?" Sore harinya, Pak Tani kembali ke ladang. "Nah, ini dia pencurinya! " Pak Tani senang melihat jebakannya berhasil. "Rupanya kau yang telah merusak ladang dan mencuri timunku." Pak Tani tertawa ketika melepaskan Kancil. "Katanya kancil binatang yang cerdik," ejek Pak Tani. "Tapi kok tertipu oleh orang-orangan ladang. Ha... ha... ha.... " Kancil pasrah saja ketika dibawa pulang ke rumah Pak Tani. Dia dikurung di dalam kandang ayam. Tapi Kancil terkejut ketika Pak Tani menyuruh istrinya menyiapkan bumbu sate. " Aku harus segera keluar malam ini j uga I " tekad Kancil. Kalau tidak, tamatlah riwayatku. " Malam harinya, ketika seisi rumah sudah tidur, Kancil memanggil-manggil Anjing, si penjaga rumah. "Ssst... Anjing, kemarilah," bisik Kancil. "Perkenalkan, aku Kancil. Binatang piaraan baru Pak Tani. Tahukah kau? Besok aku akan diajak Pak Tani menghadiri pesta di rumah Pak Lurah. Asyik, ya?" Anjing terkejut mendengarnya. "Apa? Aku tak percaya! Aku yang sudah lama ikut Pak Tani saja tidak pernah diajak pergi. Eh, malah kau yang diajak." Kancil tersenyum penuh arti. "Yah, terserah kalau kau tidak percaya. Lihat saja besok! Aku tidak bohong! " Rupanya Anjing terpengaruh oleh kata-kata si Kancil. Dia meminta agar Kancil membujuk Pak Tani untuk mengajakn-ya pergi ke pesta. "Oke, aku akan berusaha membujuk Pak Tani," janji Kancil. "Tapi malam ini kau harus menemaniku tidur di kandang ayam. Bagaimana?" Anjing setuju dengan tawaran Kancil. Dia segera membuka gerendel pintu kandang, dan masuk. Dengan sigap, Kancil cepat-cepat keluar dari kandang. "Terima kasih," kata Kancil sambil menutup kembali gerendel pintu. "Maaf Iho, aku terpaksa berbohong. Titip salam ya, buat Pak Tani. Dan tolong sampaikan maafku padanya." Kancil segera berlari meninggalkan rumah Pak Tani. Anjing yang malang itu baru menyadari kejadian sebenarnya ketika Kancil sudah menghilang. Kancil yang cerdik, temyata mudah diperdaya oleh Pak Tani. Itulah sebabnya kita tidak boleh takabur.

Laba-laba, Kelinci dan Sang Bulan

Thursday, November 06, 2003 - Sumber : UniKIDS


.
Sang bulan terlihat sedih karena sudah lama
ia melihat banyak kejadian di dunia dan juga melihat
banyak ketakutan yang dialami oleh manusia.
Untuk membuat manusia menjadi tidak takut,
sang bulan berupaya mengirimkan pesan kepada manusia
melalui temannya sang laba-laba yang baik hati.

"Hai sang laba-laba, manusia di bumi sangatlah takut
untuk mati dan hal itu membuat mereka menjadi sangat sedih.
Cobalah tenangkan manusia-manusia itu bahwa cepat atau lambat
manusia pasti akan mati, sehingga tidak perlu mereka untuk merasa sedih", seru sang Bulan kepada temannya sang laba-laba.
Dengan perlahan-lahan sang laba-laba turun kembali ke bumi,
dan dengan sangat hati-hati ia meniti jalan turun melalui
untaian sinar bulan dan sinar matahari.

Di perjalannnya turun ke bumi, sang laba-laba bertemu dengan si kelinci.
"Hendak kemanakah engkau hai sang laba-laba ?"
tanya si kelinci penuh rasa ingin tahu. "Aku sedang menuju bumi untuk
memberitahukan manusia-manusia pesan dari temanku sang Bulan" sahut sang laba-laba menjelaskan. "oohh perjalananmu sangatlah jauh wahai sang laba-laba. Bagaimana jika kamu memberitahukan pesan sang Bulan kepadaku dan aku akan membantumu memberitahukan kepada manuisa-manusia itu" seru si kelinci. "hemm.. baiklah, aku akan memberitahukan pesan dari sang Bulan kepadamu." jawab sang laba-laba. "Sang Bulan ingin memberitahukan manusia-manusia di bumi bahwa mereka akan cepat atau lambat mati ........." lanjut sang laba-laba.

Belum habis sang laba-laba menjelaskan, si kelinci sudah meloncat
pergi sambil menghapalkan pesan sang laba-laba. " Yah, beritahukan manusia bahwa mereka semua akan mati" serunya sambil meloncat-loncat dengan cepatnya. Sang Kelinci memberitahukan manusia pesan yang diterimanya. Manusia menjadi sangat sedih dan ketakutan.

Sang laba-laba segera kembali kepada sang Bulan dan memberitahukan
apa yang terjadi. Sang bulan sangat kecewa dengan si kelinci,
dan ketika si kelinci kembali sang bulan mengutuk si kelinci karena
telah lalai mendengarkan pesan sang Bulan dengan lengkap.
Karena itu sampai saat ini si kelinci tidak dapat bersuara lagi.
Bagaimana dengan sang laba-laba?

Sang bulan menugaskan sang laba-laba untuk terus menyampaikan pesan kepada manusia-manusia di bumi tanpa boleh menitipkan pesannya kepada siapapun yang dijumpainya. Oleh karena itu
sampai pada saat ini kita masih dapat melihat sang laba-laba dengan tekunnya merajut pesan sang bulan di pojok-pojok ruangan.

Namun berapa banyakkah dari kita manusia yang telah melihat pesan sang Bulan tersebut?


Kenangan Tentang Bunda

Friday, August 13, 2004 - Sumber : Mudjibah Utami (Bobo No. 33/XXX)


rek! Via menghempaskan tubuhnya di tempat tidur. Air matanya meleleh membasahi bantal. Hati Via betul-betul terluka mendengar omongan Bi Jum.

"Lo, kenapa memangis?" tanya Eyang Putri cemas. Beliau meletakkan obat dan segelas air putih di meja.

Via diam tidak menjawab. Isaknya semakin jelas terdengar.

"Eyang, benarkah Bunda tidak mau mengurus Via?" tanyanya terpatah-patah.

"Siapa bilang?'

"Tadi di Puskesmas Bi Jum bercerita pada orang-orang. Katanya Bunda tidak mau mengurus Via. Bunda sibuk berkarir. Itulah sebabnya Via diasuh Eyang."

Eyang mengangguk-angguk mulai memahami persoalan Via. Namun beliau belum menanggapi pertanyaan cucunya.

"Minum obat dulu, ya. Nanti kita bicarakan hal ini," bujuk Eyang seraya membantu Via minum obat. Sesekali terdengar helaan nafas panjangnya.
Pagi tadi Eyang menyuruh Bi Jum, pembantunya mengantar Via berobat ke Puskesmas. Sudah dua hari Via pilek. Biasanya Eyang sendiri yang mengantar Via berobat. Namun tetangga sebelah meninggal. Eyang melayat ke sebelah.

"Benarkah Bunda tidak mau mengasuh Via, Eyang?" desak Via penasaran.

Eyang menatap lembut cucunya yang sedang sedih dan gelisah. Dengan penuh kasih sayang tangannya yang keriput membelai Via.
"Apakah Via merasa begitu?"

Via tercenung. Ya, sepertinya ucapan Bi Jum ada benarnya juga. Bude Laras dan Bulik Prita, saudara Bunda mengasuh sendiri anak-anaknya. Meskipun mereka berdua juga bekerja di kantor. Sementara Via diasuh Eyang.

"Bingung, ya? Via, umumnya seorang anak memang tinggal bersama orang tuanya. Namun karena alasan tertentu, ada juga anak yang tinggal dengan orang lain."

"Dan alasan itu karena mereka tidak mau repot mengasuh anaknya, kan?" potong Via sengit.

"Mmm, sebaiknya Via cari tahu sendiri ya, jawabannya. Nanti Eyang beritahu caranya."

Via menatap Eyang tak berkedip. Dengan senyum tetap tersungging di bibir, Eyang beranjak mengambil kertas dan bolpoin.

"Dulu, kalau Eyang kecewa terhadap seseorang, Eyang menulis semua hal tentang orang tersebut. Semua kenangan yang manis atau pun yang tidak menyenangkan. Biasanya begitu selesai menulis, hati Eyang lega. Pikiran pun menjadi jernih. Sehingga Eyang bisa menilai orang itu dengan tepat. Via mau mencoba cara ini? Tulislah kenangan tentang Bunda. Mudah-mudahan Via akan menemukan jawaban. Eyang ke dapur dulu, ya."

Begitu Eyang berlalu, Via meremas kertas. Untuk apa menulis kenangan tentang Bunda? Bikin tambah kesal saja. Plung! Via melempar kertas ke tempat sampah.

Langit begitu biru. Via menatap gumpalan awan putih yang berarak. Dulu Bunda bercerita awan itu berlari karena takut digelitik angin. Kenangan Via kembali ke masa kecil. Bunda selalu mendongeng menjelang tidur. Bunda selalu memandikan dan menyuapinya. Tugas itu tidak pernah digantikan pembantu, meskipun Bunda juga bekerja di kantor.

Tiba-tiba jam kerja Bunda bertambah, karena hari Sabtu libur. Bunda tiba di rumah paling awal pukul 17.20. Kini Via lebih banyak bersama pembantu. Suatu ketika Bunda pulang lebih awal karena tidak enak badan. Saat itu waktu bagi Via tidur siang. Namun pembantu mengajaknya main ke rumah tetangga. Bunda marah dan pembantu ketakutan. Ia keluar.

Sambil menunggu pembantu baru, Via ikut Bunda ke kantor sepulang sekolah. Mula-mula semua berjalan lancar. Lalu Via mulai sakit-sakitan. Akhirnya ia harus opname. Dokter menduga Via kurang istirahat dan makan tidak teratur. Bunda menangis mendengarnya. Ia merasa bersalah.

Eyang datang menawarkan diri mengasuh Via di Salatiga. Via senang sekali. Ia tidak akan kesepian karena banyak sepupunya yang tinggal tidak jauh dari rumah Eyang. Sebetulnya Bunda keberatan. Namun demi kebaikan Via, Bunda pun rela.

Setiap awal bulan Ayah dan Bunda bergantian ke Salatiga. Biasanya mereka tiba Minggu pagi. Sore harinya mereka sudah kembali ke Bandung, karena esok paginya harus ke kantor. Bunda pun selalu menyempatkan diri mengambil rapor Via. Atau menemani Via ikut piknik sekolah. Saat ulang tahun Via, Ayah dan Bunda cuti untuk merayakannya bersama.

Ah, tiba-tiba ada aliran haru di dada Via. Keraguannya terhadap kasih sayang Bunda, hilang sudah.

"Via, umumnya seorang anak memang tinggal bersama orang tuanya. Namun karena alasan tertentu, ada juga anak yang tinggal dengan orang lain," kembali mengiang kata-kata Eyang.

Hop! Via bangkit meraih kertas dan pena. Ia mulai menuliskan kenangannya tentang Bunda. Sewaktu-waktu bila hatinya ragu ia akan membaca tulisannya kembali. Biarlah Bi Jum berpendapat Bunda tidak mau mengasuh dirinya. Namun Via yakin Bunda amat menyayanginya. Keyakinan itu akan ia jaga baik-baik. Via menghela nafas lega. Kini ia tidak boleh begitu saja terpengaruh ucapan orang lain.


Minggu, 29 Juni 2008 0 comments

Cerita anak 2



Tiga Anak Sombong

Wednesday, March 17, 2004 - Sumber : tasyaonline


Pengarang :
* Nama : Dumarini Basuki
* Sekolah : (IVB) SD Ar-Rahman Motik Jakarta.

Tiga Anak Sombong

Pada zaman dulu di desa Sumbi tinggallah tiga orang anak yatim piatu bernama Sari, Ani dan Intan. Mereka sangat miskin. Setiap hari Sari si sulung bepergian berjualan makanan buatannya sendiri. Sementara Ani dan Intan menunggunya di rumah. Pada suatu hari ketika ia sedang menjual makanan, ia bertemu dengan seorang nenek-nenek yang kelaparan. Nenek itu meminta Sari untuk membagi makanannya. Dengan berat hati ia memberikan makanannya karena itu adalah sisa makanan satu-satunya untuk adiknya. Sesampainya di rumah, Sari bercerita tentang nenek yang kelaparan dan mereka tidak makan pada hari itu.

Tiba-tiba ada seseorang yang mengetuk pintu dan ketika Sari membukanya tidak ada seorang pun di sana. Yang ia lihat adalah sebuah keranjang yang setelah dibuka ternyata berisi banyak makanan dan uang. Akhirnya, dengan uang tersebut mereka membeli rumah mewah dan lain-lainnya.

Sari, Ani dan Intan menjadi sombong. Mereka tidak mau lagi membagi makanannya kepada orang yang kelaparan. Pada suatu hari ketika mereka sedang jalan-jalan keliling desa, mereka bertiga bertemu dengan seorang Kakek.
Kakek tersebut menasehati mereka agar tidak sombong, karena sombong adalah perbuatan yang sangat tercela dan akan membuat mereka jatuh miskin. Tapi ketiganya malah berkata dengan marah agar tidak menasehatinya karena mereka yakin dengan kekayaannya sekarang mereka tidak akan jatuh miskin.

Sesampainya di rumah, alangkah terkejutnya ketika mereka melihat rumah mereka telah hangus dilalap si jago merah. Mereka menangis tersedu-sedu karena harta benda mereka telah hangus terbakar.
Setelah kejadian itu mereka sadar dan ingin meminta maaf kepada Kakek yang telah menasehati mereka. Berhari-hari, berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun mereka berusaha mencari Kakek tersebut.
Setelah hampir putus asa, akhirnya mereka berhasil menemukan Kakek tersebut dan mereka berjanji untuk tidak sombong lagi serta meminta sang Kakek untuk menjadi Kakek angkat mereka.

* * * *

Segelas Susu

Thursday, May 06, 2004 - Sumber : dwp.or.id


Suatu hari, seorang anak lelaki miskin yang hidup dari menjual asongan dari pintu ke pintu, menemukan bahwa dikantongnya tersisa beberapa sen uangnya, dan dia sangat lapar.

Anak lelaki tersebut memutuskan untuk meminta makanan dari rumah berikutnya. Akan tetapi anak itu kehilangan keberanian saat seorang wanita muda membuka pintu rumah. Anak itu tidak jadi meminta makanan, ia hanya berani meminta segelas air.

Wanita muda tersebut melihat, dan berfikir bahwa anak lelaki tersebut pastilah lapar, oleh karena itu ia membawakan segelas besar susu.

Anak lelaki itu meminumnya dengan lambat, dan kemudian bertanya "berapa saya harus membayar untuk segelas besar susu ini ?" Wanita itu menjawab : "Kamu tidak membayar apapun". "Ibu kami menajarkan untuk tidak menerima bayaran untuk kabaikan" kata wanita itu menambahkan.

Anak lelaki itu kemudian menghabiskan susunya dan berkata : " Dari dalam hatiku akau berterima kasih pada anda."

Bertahun-tahun kemudian, wanita muda tersebut mengalami sakit yang sangat kritis. Para dokter di kota itu sudah tidak sanggup menang
aninya. Mereka akhirnya mengirimnya ke dokter besar, dimana terdapat dokter spesialis yang mampu menangani penyakit langka tersebut.

Dr. Anwar dipanggil untuk melakukan pemeriksaan. Pada saat ia mendengar nama kota asal wanita tersebut, terbersit seberkas pancaran aneh pada mata Dr. Anwar.

Segera ia bangkit dan bergegas turun melalui ruang rumah sakit, menuju kamar si wanita tersebut.
Dengan berpakaian jubah kedokteran ia menemui si wanita itu.

Ia langsung mengenali wanita itu pada sekali pandang. Ia kemudian kembali ke ruang konsultasi dan memutuskan untuk melakukan upaya terbaik untuk menyelematkan nyawa itu. Mulai hari itu, ia selalu memberikan perhatian khusus pada wanita itu.

Setelah melalui perjuangan yang panjang, akhirnya diperoleh kemenangan??? Wanita itu sembuh !!.

Dr. Anwar meminta bagian keungan rumah sakit untuk mengirimkan seluruh tagihan biaya pengobatan kepadanya untuk persetujuan. Dr. Anwar menuliskan sesuatu pada pojok atas lembar tagihan, dan kemudian mengirimkannya ke kamar pasien.

Wanita itu takut untuk membuka tagihan tersebut, ia sangat yakin bahwa tak akan mampu membayar tagihan tersebut walaupun harus diangsur seumur hidupnya.

Akhirnya ia memberanikan diri untuk membaca tagihan tersebut, dan ada sesuatu yang menarik perhatiannya pada pojok atas lembar tagihan tersebut. Ia membaca tulisan yang berbunyi??" Telah dibayar lunas dengan segelas susu !! " tertanda, Dr. Anwar Yusuf. Air mata kebahagiaan membanjiri matanya. Ia berdoa : "Tuhan, terima kasih, bahwa cintamu telah memenuhi seluruh bumi melalui hati tangan manusia."

(15 Jul 2003)(dwpp/truestory/F

Keong Mas

Thursday, November 06, 2003 - Sumber : UniKIDS

Alkisah pada jaman dahulu kala hiduplah seorang pemuda bernama Galoran.

Ia termasuk o
rang yang disegani karena kekayaan dan pangkat orangtuanya. Namun Galoran sangatlah malas dan boros. Sehari-hari kerjanya hanya menghambur-hamburkan harta orangtuanya, bahkan pada waktu orang tuanya meninggal dunia ia semakin sering berfoya-foya. Karena itu lama kelamaan habislah harta orangtuanya. Walaupun demikian tidak membuat Galoran sadar juga, bahkan waktu dihabiskannya dengan hanya bermalas-malasan dan berjalan-jalan. Iba warga kampung melihatnya. Namun setiap kali ada yang menawarkan pekerjaan kepadanya, Galoran hanya makan dan tidur saja tanpa mau melakukan pekerjaan tersebut. Namun akhirnya galoran dipungut oleh seorang janda berkecukupan untuk dijadikan teman hidupnya. Hal ini membuat Galoran sangat senang ; "Pucuk dicinta ulam pun tiba", demikian pikir Galoran.
Janda tersebut mempunyai seorang anak perempuan yang sangat rajin dan pandai menenun, namanya Jambean. Begitu bagusnya tenunan Jambean sampai dikenal diseluruh dusun tersebut. Namun Galoran sangat membenci anak tirinya itu, karena seringkali Jambean menegurnya karena selalu bermalas-malasan.

Rasa benci Galoran sedemikian dalamnya, sampai tega merencanakan pembunuhan anak tirinya sendiri. Dengan tajam dia berkata pada istrinya : " Hai, Nyai, sungguh beraninya Jambean kepadaku. Beraninya ia menasehati orangtua! Patutkah itu ?" "Sabar, Kak. Jambean tidak bermaksud buruk terhadap kakak" bujuk istrinya itu. "Tahu aku mengapa ia berbuat kasar padaku, agar aku pergi meninggalkan rumah ini !" seru nya lagi sambil melototkan matanya. "Jangan begitu kak, Jambean hanya sekedar mengingatkan agar kakak mau bekerja" demikian usaha sang istri meredakan amarahnya. "Ah .. omong kosong. Pendeknya sekarang engkau harus memilih .. aku atau anakmu !" demikian Galoran mengancam.

Sedih hati ibu Jambean. Sang ibu menangis siang-malam karena bingung hatinya. Ratapnya : " Sampai hati bapakmu menyiksaku jambean. Jambean anakku, mari kemari nak" serunya lirih. "Sebentar mak, tinggal sedikit tenunanku" jawab Jambean. "Nah selesai sudah" serunya lagi. Langsung Jambean mendapatkan ibunya yang tengah bersedih. "Mengapa emak bersedih saja" tanyanya dengan iba. Maka diceritakanlah rencana bapak Jambean yang merencanakan akan membunuh Jambean. Dengan sedih Jambean pun berkata : " Sudahlah mak jangan bersedih, biarlah aku memenuhi keinginan bapak. Yang benar akhirnya akan bahagia mak". "Namun hanya satu pesanku mak, apabila aku sudah dibunuh ayah janganlah mayatku ditanam tapi buang saja ke bendungan" jawabnya lagi. Dengan sangat sedih sang ibu pun mengangguk-angguk. Akhirnya Jambean pun dibunuh oleh ayah tirinya, dan sesuai permintaan Jambean sang ibu membuang mayatnya di bendungan. Dengan ajaib batang tubuh dan kepala Jambean berubah menjadi udang dan siput, atau disebut juga dengan keong dalam bahasa Jawanya.

Tersebutlah di Desa Dadapan dua orang janda bersaudara bernama Mbok Rondo Sambega dan Mbok Rondo Sembadil. Kedua janda itu hidup dengan sangat melarat dan bermata pencaharian mengumpulkan kayu dan daun talas. Suatu hari kedua bersaudara tersebut pergi ke dekat bendungan untuk mencari daun talas. Sangat terpana mereka melihat udang dan siput yang berwarna kuning keemasan. "Alangkah indahnya udang dan siput ini" seru Mbok Rondo Sambega "Lihatlah betapa indahnya warna kulitnya, kuning keemasan. Ingin aku bisa memeliharanya" serunya lagi. "Yah sangat indah, kita bawa saja udang dan keong ini pulang" sahut Mbok Rondo Sembadil. Maka dipungutnya udang dan siput tersebut untuk dibawa pulang. Kemudian udang dan siput tersebut mereka taruh di dalam tempayan tanah liat di dapur. Sejak mereka memelihara udang dan siput emas tersebut kehidupan merekapun berubah. Terutama setiap sehabis pulang bekerja, didapur telah tersedia lauk pauk dan rumah menjadi sangat rapih dan bersih. Mbok Rondo Sambega dan Mbok Rondo Sembadil juga merasa keheranan dengan adanya hal tersebut. Sampai pada suatu hari mereka berencana untuk mencari tahu siapakah gerangan yang melakukan hal tersebut.
Suatu hari mereka seperti biasanya pergi untuk mencari kayu dan daun talas, mereka berpura-pura pergi dan kemudian setelah berjalan agak jauh mereka segera kembali menyelinap ke dapur. Dari dapur terdengar suara gemerisik, kedua bersaudara itu segera mengintip dan melihat seorang gadis cantik keluar dari tempayan tanah liat yang berisi udang dan Keong Emas peliharaan mereka. "tentu dia adalah jelmaan keong dan udang emas itu" bisik Mbok Rondo Sambega kepada Mbok Rondo Sembadil. "Ayo kita tangkap sebelum menjelma kembali menjadi udang dan Keong Emas" bisik Mbok Rondo Sembadil. Dengan perlahan-lahan mereka masuk ke dapur, lalu ditangkapnya gadis yang sedang asik memasak itu. "Ayo ceritakan lekas nak, siapa gerangan kamu itu" desak Mbok Rondo Sambega "Bidadarikah kamu ?" sahutnya lagi. "bukan Mak, saya manusia biasa yang karena dibunuh dan dibuang oleh orang tua saya, maka saya menjelma menjadi udang dan keong" sahut Jambean lirih. "terharu mendengar cerita Jambean kedua bersaudara itu akhirnya mengambil Keong Emas sebagai anak angkat mereka. Sejak itu Keong Emas membantu kedua bersaudara tersebut dengan menenun. Tenunannya sangat indah dan bagus sehingga terkenallah tenunan terebut keseluruh negeri, dan kedua janda bersaudara tersebut menjadi bertambah kaya dari hari kehari.

Sampailah tenunan tersebut di ibu kota kerajaan. Sang raja muda sangat tertarik dengan tenunan buatan Jambean atau Keong Emas tersebut. Akhirnya raja memutuskan untuk meninjau sendiri pembuatan tenunan tersebut dan pergi meninggalkan kerajaan dengan menyamar sebagai saudagar kain. Akhirnya tahulah raja perihal Keong Emas tersebut, dan sangat tertarik oleh kecantikan dan kerajinan Keong Emas. Raja menitahkan kedua bersaudara tersebut untuk membawa Jambean atau Keong Emas untuk masuk ke kerajaan dan meminang si Keong Emas untuk dijadikan permaisurinya. Betapa senang hati kedua janda bersaudara tersebut.

Akhirnya Keong Emas hidup berbahagia sebagai permaisuri raja, sedangkan ayah tiri dan ibunya hidup menderita dan harus mengembara dari desa ke desa untuk meminta-minta.


0 comments

Cerita Anak


Rakus

Ada seekor anjing yang sangat rakus. Anjing itu suka merebut makanan kawannya. Kalau anjing
lain mendapat daging, dikerjarnya dan direbutnya daging itu.

Pada suatu hari anjing rakus itu merasa lapar sekali. Ia berlari kesana-kemari mencari makanan. Di dekat pasar si rakus mencuri sepotong daging. Daging itu digigitnya dan dibawa pulang.

Anjing itu berjalan melalui jembatan kecil di atas sungai. Air sungai itu sangat jernih. Anjing itu melihat ke bawah. Bayangannya tampak jelas.

Si rakus mengira ada anjing lain yang menggigit daging juga...dengan cepat ia melompat ke dalam air. Ia mau merebut daging itu.

Daging yang dimulutnya terlepas, dan hanyut dibawa air. Ternyata tidak ada anjing lain. Yang diserangnya itu hanya bayangannya sendiri. Si rakus basah kuyup. Dengan susah payah ia naik ke darat. Si rakus pulang dengan lesu. Perutnya makin lapar.



Keledai pembawa garam

Monday, June 19, 2006 - Sumber : e-smartschool.com


Pada suatu hari di musim panas, tampak seekor keledai berjalan di pegunungan. Keledai itu membawa beberapa karung berisi garam dipunggungnya. Karung itu sangat berat, sementara matahari bersinar dengan teriknya. "Aduh panas sekali. Sepertinya aku sudah tidak kuat berjalan lagi," kata keledai. Di depan sana, tampak sebuah sungai. "Ah, ada sungai! Lebih baik aku berhenti sebentar," kata keledai dengan gembira. Tanpa berpikir panjang, ia masuk ke dalam sungai dan….

Byuur… Keledai itu terpeleset dan tercebur. Ia berusaha untuk berdiri kembali, tetapi tidak berhasil. Lama sekali keledai berusaha untuk berdiri. Anehnya, semakin lama berada di dalam air, ia merasakan beban dipunggungnya semakin ringan. Akhirnya keledai itu bisa berdiri lagi. "Ya ampun, garamnya habis!" kata tuannya dengan marah. "Oh, maaf… garamnya larut di dalam air ya?" kata keledai.

Beberapa hari kemudian, keledai mendapat tugas lagi untuk membawa garam. Seperti biasa, ia harus berjalan melewati pegunungan bersama tuannya. "Tak lama lagi akan ada sungai di depan sana," kata keledai dalam hati. Ketika berjalan menyeberangi sungai, keledai menjatuhkan dirinya dengan sengaja. Byuuur…. Tentu saja garam yang ada dipunggungnya menjadi larut di dalam air. Bebannya menjadi ringan. "Asyik! Jadi ringan!" kata keledai ringan. Namun, mengetahui keledai melakukan hal itu dengan sengaja, tuannya menjadi marah. "Dasar keledai malas!" kata tuannya dengan geram.

Keesokan harinya, keledai mendapat tugas membawa kapas. Sekali lagi, ia berjalan bersama tuannya melewati pegunungan. Ketika sampai di sungai, lagi-lagi keledai menjatuhkan diri dengan sengaja. Byuuur…. Namun apa yang terjadi ? Muatannya menjadi berat sekali. Rupanya kapas itu menyerap air dan menjadi seberat batu. Mau tidak mau, keledai harus terus berjalan dengan beban yang ada dipunggungnya. Keledai berjalan sempoyongan di bawah terik matahari sambil membawa beban berat dipunggungnya.

Moral : Berpikirlah dahulu sebelum bertindak. Karena tindakan yang salah akan menyebabkan kerugian bagi kita.

Sumber : Elexmedia

Buaya yang Tidak Jujur

Thursday, March 10, 2005 - Sumber : Majalah Tasya


Karya : Devara Putri
Kelas : IV B
Sekolah : SD Argentina Jakarta

Ada sebuah sungai di pinggir hutan. Di sungai itu hiduplah sekelompok buaya. Buaya itu ada yang berwarna putih, hitam, dan belang-belang. Meskipun warna kulit mereka berbeda, mereka selalu hidup rukun.
Di antara buaya-buaya itu ada seekor yang badannya paling besar. Ia menjadi raja bagi kelompok buaya tersebut. Raja buaya memerintah dengan adil dan bijaksana sehingga dicintai rakyatnya.
Suatu ketika terjadi musim kemarau yang amat panjang. Rumput-rumput di tepi hutan mulai menguning. Sungai-sungai mulai surut airnya. Binatang-binatang pemakan rumput banyak yang mati.
Begitu juga dengan buaya-buaya. Mereka sulit mencari daging segar. Kelaparan mulai menimpa keluarga buaya. Satu per satu buaya itu mati.

Setiap hari ada saja buaya yang menghadap raja. Mereka melaporkan bencana yang dialami warga buaya. Ketika menerima laporan tersebut, hati raja buaya merasa sedih.
Untung Raja Buaya masih memiliki beberapa ekor rusa dan sapi. Ia ingin membagi-bagikan daging itu kepada rakyatnya.

Raja Buaya kemudian memanggil Buaya Putih. Dan Buaya Hitam. Raja Buaya lalu berkata, “Aku tugaskan kepada kalian berdua untuk membagi-bagikan daging. Setiap pagi kalian mengambil daging di tempat ini. Bagikan daging itu kepada teman-temanmu!”
“Hamba siap melaksanakan perintah Paduka Raja,” jawab Buaya Hitam dan putih serempak.
“Mulai hari ini kerjakan tugas itu!”perintah Raja Buaya lagi.
Kedua Buaya itu segera memohon diri. Mereka segera mengambil daging yang telah disediakan. Tidak lama kemudian mereka pergi membagi-bagikan daging itu.

Buaya Putih membagikan makanan secara adil. Tidak ada satu buaya pun yang tidak mendapat bagian. Berbeda dengan Buaya Hitam, daging yang seharusnya dibagi-bagikan, justru dimakannya sendiri. Badan Buaya Hitam itu semakin gemuk.
Selesai membagi-bagikan daging, Buaya Putih dan Buaya Hitam kembali menghadap raja.
“Hamba telah melaksanakan tugas dengan baik, Paduka,” lapor Buaya Putih.
“Bagus! Bagus! Kalian telah menjalankan tugas dengan baik,” puji Raja.
Suatu hari setelah membagikan makanan,Buaya Putih mampir ke tempat Buaya Hitam. Ia terkejut karena di sana-sini banyak bangkai buaya.

Sementara tidak jauh dari tempat itu Buaya Hitam tampak sedang asyik menikmati makanan. Buaya Putih lalu mendekati Buaya Hitam.
“Kamu makan jatah makanan temen-teman, ya?”
“Kamu biarkan mereka kelaparan!” ujar Buaya Putih.
“Jangan menuduh seenaknya!” tangkis Buaya Hitam.
“Tapi, lihatlah apa yang ada di depanmu itu!” sahut Buaya Putih sambil menunjuk seekor buaya yang mati tergeletak.
“Itu urusanku, engkau jangan ikut campur! Aku memang telah memakan jatah mereka. engkau mau apa?” tantang Buaya Hitam.
“Kurang ajar!” ujar Buaya Putih sambil menyerang Buaya Hitam. Perkelahian pun tidak dapat dielakkan. Kedua buaya itu bertarung seru. Akhirnya, Buaya Hitam dapat dikalahkan.
Buaya Hitam lalu dibawa kehadapan Raja. Beberapa buaya ikut mengiringi perjalanan mereka. Di hadapan Sang Raja, Buaya Putih segera melaporkan kelakuan Buaya Hitam. Buaya Hitam lalu mendapat hukuman mati karena kejahatannya itu.

“Buaya Putih, engkau telah berlaku jujur, adil, serta patuh. Maka kelak setelah aku tiada, engkaulah yang berhak menjadi raja menggantikanku,” demikian titah Sang Raja kepada Buaya Putih


 
;