Oleh Mukhamad Najib (Eramuslim)
Hari ini anak saya yang pertama mogok makan di sekolah. Ini bukan bagian dari aksi protes karena Sri Mulyani bakal pergi ditengah dugaan penyelewengan kebijakan yang belum terklarifikasi, bukan juga complain karena dokumen hasil kerja pansus Century ternyata “dibajak” di tengah jalan sehingga tidak sampai ke tangan KPK.
Alasan anak saya mogok makan satu, yaitu karena makan siang yang dia bawa dari rumah berbeda dengan teman-temannya. “kenapa sih makanan mas beda sama temen-temen? Kenapa mas gak boleh makan di sekolah?” begitu complain anak saya.
Di sekolah Jepang siswa harus makan siang di sekolah, dan sekolah menyediakan makanan untuk seluruh siswa mereka. Di sekolah Jepang tidak tersedia kantin seperti di sekolah-sekolah kita di Indonesia, sehingga saat jam istirahat siswa benar-benar memanfaatkan waktunya untuk sosialisasi dan istirahat, bukan untuk jajan.
Sayangnya makanan untuk anak SD yang disediakan di sekolah hampir semuanya mengandung mirin, sake atau alcohol. “kami diharuskan memberikan mirin sebagai tambahan kalori, karena anak SD butuh banyak kalori”, begitu kata kepala dapur sekolah saat istri saya menanyakan tentang bahan-bahan pembuat makanan.
Sebenarnya sekolah bersedia menyiapkan makanan pengganti bagi siswa yang memerlukan pengecualian. Tapi hal itu hanya diperuntukkan bagi mereka yang memiliki alasan kesehatan, seperti alergi. “We don’t treat student based on religion”, begitu kata kepala sekolah. Sehingga anak saya tidak bisa mendapatkan makanan yang bebas alcohol, bebas daging babi, dan lain sebagainya. Sebagai gantinya anak saya harus membawa “bento”, membawa makanan sendiri dari rumah.
Karena membawa sendiri makanannya dari rumah, terkadang makanan yang dibawa anak saya tidak sama persis dengan teman-temannya. Jadilah anak saya anak yang “berbeda” dengan teman-temannya. Rupanya naluri keseragaman yang dihasilkan dari pendidikan di Jepang mulai meresap dalam diri anak saya, sehingga dia merasa “risih” dengan perbedaan, merasa marginal diantara teman-temannya, dia menginginkan hal yang seragam, duduk satu meja dengan piring dan makanan yang sama dengan teman-temannya.
Berbeda dengan mainstream memang bukan hal yang mudah, karena keseragaman pada umumnya menjadi salah satu sifat yang melekat dalam diri manusia. Budaya “conformity”, budaya selalu ingin selaras atau sesuai dengan lingkungan dapat kita jumpai dimana-mana.
Tekanan untuk selaras dengan lingkungan bukan hanya monolopi anak-anak, tapi juga orang dewasa. Dalam suatu pertemuan formal misalnya, saat semua orang menggunakan jas atau dasi, kita mungkin akan risih juga kalau tidak mengenakan atribut yang sama.
Tekanan atas keseragaman bisa menyebabkan kerusakan sebuah system jika mainstream yang berkembang berupa nilai-nilai kejahatan. Di lingkungan yang penuh korupsi, seseorang merasa sungkan untuk tidak terlibat dalam korupsi. Menjadi bersih berarti menjadi terkucil dan termarginalkan, dan berpotensi “merusak” solidaritas “korp” yang sudah terbangun kuat.
Menolak korupsi di tengah lingkungan yang korup dianggap sebagai bentuk disloyalitas. Dan pada umumnya manusia takut menjadi terkucil, marginal dan dianggap tidak solider dan tidak loyal. Tekanan keseragaman yang semacam ini menyebabkan para koruptor saling lindung melindungi, dan secara sistemik berhasil melakukan kaderisasi.
Budaya “seragam”, budaya “conformity” dalam hal-hal baik tentu akan sangat bermanfaat, karena dapat menjaga semangat kebaikan kolektif. Di Jepang, di ruang-ruang public, toilet umum rata-rata dalam keadaan bersih meski tidak dijaga oleh penjaga toilet setiap saat seperti kebanyak toilet umum di Jakarta. Karena toilet selalu dalam keadaan bersih, seseorang menjadi sungkan kalau meninggalkan toilet dalam keadaan kotor.
Di stasiun, meski penumpang sangat banyak di pagi dan sore hari, mereka tetap tertib dan berbaris rapih ketika menunggu kereta datang. Dan mereka tidak perlu berebut dan berdesakan dipintu kereta ketika kereta berhenti. Karena semua berbaris rapih, maka seseorang akan sungkan kalau menyerobot antrian.
“bBerkumpul bersama orang baik akan membuat kita menjadi baik” begitu kata orang bijak. Jika kebaikan menjadi mainstream, menjadi perilaku mayoritas, maka orang akan sungkan melakukan hal-hal yang bertentangan dengan kebaikan. Karena mereka akan terikat dan tertekan pada sindrom keseragaman dalam nilai-nilai kebaikan.
Hal ini pada akhirnya akan melanggengkan nilai-nilai kebaikan di tengah masyarakat. Oleh karena itu yang perlu kita bangun terus menerus adalah lingkungan yang kondusif untuk melakukan kebaikan, lingkungan yang membuat orang sungkan bila melakukan kejahatan.
Mudah-mudahan kita bisa saling bantu membantu, saling menguatkan dalam membangun lingkungan yang kondusif untuk melakukan semua nilai-nilai kebaikan. Amin.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar