Jumat, 10 Oktober 2008

Laskar Pelangi

Laskar Pelangi

Senin, 29 September 2008 06:59

"Wan, kita nonton Laskar Pelangi yuk?" sebuah cetingan terpampang di layar LCD. Si pengirim, Endah, mengirimkan Rabu tanggal 24 kemarin. Hmm.. Tawaran menarik. Lagipula film ini sudah terkenal sebelum tayang, karena diangkat dari novel laris karya Andrea Hirata. Saya sampai sekarang belum sempat baca itu. Dan itu tidak mengurangi rasa penasaran untuk nonton.

Menarik, itu sekilas kata yang menjadi komentar utama saya sehabis menonton. Kami bersebelas, saya, istri saya, kedua anak saya, Endah dan suaminya serta ketiga anaknya, juga Nofri dan ibunya, jadi menonton film itu hari Sabtu 27 jam 14.15 kemarin. Saya tahu bahwa menonton film itu berarti harus mengantri dengan sekian banyak orang. Nah, kebetulan saya punya sepupu yang ada jabatan di 21 dan dia bisa menyediakan tiket tanpa harus antri. Tapi tetap bayar lho, bukan gratis.

Dalam kurun tahun 2000an, sedikit film Indonesia yang memaksa saya harus ke bioskop. Pertama "Petualangan Sherina", lalu "Denias" dan terakhir "Laskar Pelangi". Ada sih, satu lagi. Itu juga karena ada orang stress ngajakin saya nonton film tidak bermutu macam 'kuntilanak'. Sebuah film nggak jelas yang saya juga heran, kok mau-maunya bikin film macam begitu. Dan kok mau-maunya, dengan bodohnya, pake bayarin lagi, nonton film murahan begitu. Selebihnya film Indonesia saya tonton di televisi. Dan beberapa saya suka, walau tidak sempat memaksa saya menontonnya di bioskop.

Film ini menarik, karena mengangkat cerita pulau Belitung. Mungkin sentimen saya yang sedang berusaha menggali akar diri saya. Dimana segala pengetahuan tentang Belitung menjadi daya tarik tersendiri. Menimbulkan rasa penasaran yang lain, yang memaksa saya 'harus menonton' film ini, bukan menantinya di layar televisi, tapi menonton langsung di layar lebar.

Anak dan istri saya pun menyukai film ini. Karena film ini tampil sederhana dan apa adanya. Dalam film ini kesan konflik yang tidak jelas, seperti yang sudah jadi pakem sinetron, tidak berlaku. Saya senang menonton film ini. Ringan, mengalir dan tanpa beban. Kekuatan akting yang prima dari Cut Mini serta Ikranegara betul-betul jempolan. Sementara pemeran lainnya terkesan kurang, mungkin karena menghindari penonjolan dari mereka. Tapi nama besar mereka seolah menjadi jaminan bagi kesuksesan film ini.

Dalam film ini, pemeran anak-anaknya asli putra Belitung. Mungkin karena untuk mendapatkan keaslian wajah dan dialek, yang kalau itu pemeran dari Jakarta, malah jadi susah. Jadilah para pemain cilik itu tampil 'sebagaimana mestinya'. Sudah pasti sutradara berusaha dengan keras mengarahkan mereka-mereka itu. Dan film itu kini sukses, menurut saya, menampilkan sebuah potret kehidupan 'anak miskin yang mau sekolah'. Memang, cerita humanis yang dibungkus nilai agamis ini, lebih menarik untuk dijadikan tontonan bioskop dan jauh lebih enak ditonton di bioskop tinimbang cerita absurd tidak jelas macam sinetron atau film yang niatnya lucu atau niatnya seram. Film "Laskar Pelangi" juga telah sukses sebelum tayang, karena banyak sudah yang telah membaca novelnya. Dan merekalah yang kemudian menjadi penonton setia, dimana para penonton ini penasaran, apakah khayalan mereka sama dengan khayalan si sutradara pembuat film.

Film ini, menurut anak saya, film yang bagus. Dibuka dengan adegan kepulangan Ikal ke Belitung setelah bertahun-tahun pergi meninggalkan tanah kelahirannya mengejar mimpi. Lalu kilas balik, ke masa-masa Ikal sewaktu masih kecil. Film bercerita tentang SD Muhammadiyah Gantong yang terancam tutup akibat kekurangan murid. Dan hari itu adalah hari penentuan, dimana bila tidak mencapai 10 murid baru, maka sekolah itu ditutup. Murid yang pertama datang ialah Lintang, anak nelayan miskin yang tinggal jauh dari Gantong. Lalu kedelapan anak saling berdatangan bersama dengan orang tua mereka masing-masing. Dengan hanya sembilan murid, tidak mungkin sekolah itu bisa berjalan. Harus 10 murid yang mesti belajar. Lalu datanglah Harun, si penyelamat. Seorang anak 'debil', dan memang diperankan beneran anak debil. Dengan adanya Harun, maka lengkaplah sudah sepuluh anak yang bersekolah. Dan dengan begitu, maka dibukalah kelas baru dan tetap berlangsung kegiatan belajar mengajar di SD itu.

Seperti yang saya bilang di awal, konflik yang terjadi hanya sekilas. Tidak norak seperti sinetron. Bakri, salah seorang guru, yang merasa sudah pupus harapan mengajar di sekolah yang tidak punya masa depan itu. Sementara di depan matanya ada tawaran untuk menjadi guru dengan gaji yang memuaskan. Selain itu, tidak ada lagi. Kejadian lain paling tentang cinta monyet Ikal dengan Aling, anak China pemilik toko kelontong yang menjual kapur untuk papan tulis.

Dalam film juga ditampilkan tentang bagaimana mereka bisa merebut perhatian para orang tua agar mau menyekolahkan anak mereka di situ, dengan menunjukan diri mereka, anak-anak yang serba kekurangan itu, yang dengan tampilan seadanya, malah memenangkan karnaval, mengalahkan juara bertahan SD Timah yang terkenal dengan sekolah anak orang kaya. Juga kemenangan saat SD mereka juara lomba Cerdas Cermat, bersaing dengan SD Timah pula. Bahkan, salah seorang guru SD Timah, ikut mendukung SD Muhammadiyah itu. Entah karena didasari perasaan suka dengan Muslimah, guru SD Muhammadiyah itu, atau juga karena jawaban Lintang yang benar.

Ada suka, ada duka. Klimaks dari film ini ada dua poin. Pertama, meninggalnya pak Harfan karena usia dan kedua, mundurnya Lintang karena ia harus menggantikan posisi bapaknya yang meninggal saat melaut. Walau ada gambar dimana ibu Muslimah menangisi pakcik Harfan sampai lima hari meninggalkan anak-anak didiknya dengan alasan berkabung, tapi juga diselingi bagaimana Lintang yang memang punya kecerdasan lebih, mengambil tindakan menggantikan posisi bu Muslimah, mengajari teman-temannya. Dan hal itu tidak membuat adegan jadi cengeng. Sempat terharu berurai air mata. Tapi tetap adegan itu tidak cengeng ala film India. Adegan lain yang membuat saya terharu, bagaimana seorang anak SD seperti Lintang yang tidak beribu, anak paling tua, punya adik 3 perempuan semua dan kemudian bapaknya hilang di laut. Tanggung jawab teramat besar untuk menggantikan posisi bapak, ibu dan kakak sekaligus yang memaksa Lintang harus berhenti sekolah. Bukan sebuah adegan klise macam sinetron dengan tampilan compang camping terlunta-lunta minta sedekah. Bukan senorak itu. Tapi wajah tegar dengan senyum yang tetap menghias wajah Lintang, saat ia berpamitan dengan diiringi isak tangis teman sekelas dan bu Muslimah serta jeritan Ikal ang memanggil sahabat kesayangan yang paling cerdas itu.

Adegan ditutup saat Ikal sampai lagi di Gantong, menjejakkan kaki pertama kali setelah pergi mengejar mimpi. Tidak sengaja ditegur Lintang, yang kini (terlihat) menjadi mekanik. Lintang menunjukkan kepada Ikal, anaknya yang kini bersekolah di SD dan mewarisi kepandaian bapaknya. Lagu Nidji mengalun mengiringi Laskar Pelangi yang riang sedang bermain, bersama bu Muslimah. Ah, saya jadi menangis lagi mengingat adegan itu. Dada ini seolah meluap. Ya, kerinduan akan masa kecil yang indah, walau dunia tak seindah surga.

Film ini memang layak ditonton anak-anak atau masih berjiwa kekanak-kanakan atau ingin bernostalgia mengenang masa kanak-kanaknya. Semoga kita selalu ingat akan impian kita sewaktu kecil, sehingga saat kita punya anak kelak, maka kita pun tahu impian anak kita.

Oh iya, ada pesan sedikit. Bagi mereka yang sudah menyisihkan sebagian rizkinya untuk ikut berlebaran bareng anak yatim, insya Allah anak-anak yatim itupun akan menonton film "Laskar Pelangi" hari Sabtu besok tanggal 4 Oktober 2008. Semoga film ini bisa menjadi motivasi bagi mereka, untuk ikut memperjuangkan mimpi mereka, walau dalam hidup serba berkekurangan. Terima kasih bagi Bayu Gawtama, Kosirotun, para pendonatur dan pihak-pihak yang telah bersusah payah mewujudkan impian mereka. Semoga amal kebaikan kita semua mendapat balasan surga yang lebih indah dari dunia. Aamiin..

Tidak ada komentar:

 
;